Ulos, Pernikahan, Kelahiran, Dan Kematian (2)

Ulos sibolang

Ulos dalam adat dan tradisi Batak bukan sekadar lembaran kain yang dipakai dalam upacara-upacara istiadat. Di dalamnya mengandung makna yang luar biasa dalam. Ia memiliki arti sejak perjodohan, kelahiran, hingga kematian.

Ulos, Jenis Dan Kegunaannya

Di dalam adat Batak, remaja yang baru belajar menenun memang hanya diperboleh membuatkan ulos parompa yang digunakan untuk menggendong anak. Tingkat kemahiran ditentukan oleh jumlah lidi yang digunakan. Pada tingkat mahir, penenun biasanya menggunakan tujuh buah lidi sekaligus. Itu yang disebut marsipitu lili. Pada level ini, mereka telah bisa membuat semua jenis kain ini. Dalam membuatnya, semakin banyak lidi yang digunakan, maka corak pun semakin beraneka.

Ulos Jugia. Disebut juga ulos naso ra pipot atau pinunsaan. Hanya untuk orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki dan perempuan. Nilainya tertinggi dan disimpan dalam parmonang-monangan (lemari).

Ragi Hidup. Rangkaian dua kata ini bermakna lambang kehidupan. Coraknya memberi kesan kainnya hidup. Muncul dalam warna hitam-putih. Memiliki nilai tinggi. bisa digunakan untuk kesempatan suka maupun duka. Pada saat pernikahan, kain ini diberikan orang tua pengantin wanita kepada ibu pengantin pria. Bila ada sesepuh meninggal, ulos ragi hidup dikenakan oleh si sulung. Jenis ini paling banyak ditemukan dalam upacara adat Batak.

Ragi Hotang. Diberikan kepada pengantin agar terjadi ikatan batin seperti rotan (hotang). Disebut juga sebagai ulos marjabu. Disampirkan ke bahu keduanya, ujung kanan dipegang pengantin pria dan kiri wanita, lalu diikat di tengahnya. Sedangkan saat kematian, digunakan untuk menutup jenasah atau membungkus tulang manakala penguburan untuk kedua.

Ulos Sadum. Memiliki warna ceria, dengan dominasi warna merah, sehingga banyak digunakan untuk upacara suka cinta. Meski bisa juga untuk suasana lara.

Ulos Runjat. Digunakan orang kaya dan digunakan sebagai ulos edang-edang yang digunakan untuk ke pesta pernikahan.  Diberikan juga kepada pengantin oleh keluarga terdekat.

Ulos Sibolang. Lebih banyak digunakan orang untuk acara duka cinta, namun sebenarnya bisa juga digunakan untuk suasana suka cita. Lazimnya pada saat berduka digunakan yang dominan hitam sedangkan saat suka lebih banyak warna putih. Yang putih ini pun digunakan dalam upacara pernikahan. Orang tua pengantin perempuan mangulosi ayah pengantin pria, untuk mabolang-bolangi (menghormatinya).

Suri-suri panjang. Coraknya berbentuk sisir memanjang dan dulu digunakan untuk hande-hande atau ampe-ampe. Lebih panjang dari yang biasanya,  hingga dua kalinya.

Mangiring.  Motifnya beriringan dan merupakan simbol dari kesuburan dan kesepakatan. Diberikan orang tua sebagai parompa kepada cucunya. Digunakan juga untuk pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali oleh kaum Adam dan sebagai tudung oleh kaum Hawa.

Bintang Maratur. Memunculkan bintang-bintang yang beraturan sebagai lambang dari orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Bahkan juga dalam soal kekayaan dan kemuliaan, ditunjukkan berada dalam tingkatan yang sama. Corak ini juga menunjukkan harapan agar setelah anak pertama lahir anak-anak lainnya.

Sitoluntuho-bolean. Biasanya digunakan sebagai ikat kepala bagi pria atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna, kecuali diberikan kepada anak baru lahir sebagai parompa.

Jungkit. Ini jenis nanidondang atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari kain tersebut.

Lobu-lobu. Yang satu ini digunakan untuk keperluan khusus, terutama orang yang sering dirundung malam, misal kematian anak, karena itu dipesan langsung oleh yang memerlukannya.


Dua Ulos

(berdasar ukuran)

  1. Na Balga. Inilah jenis untuk kelompok masyarakat papan atas. Biasanya digunakan pada upacara adat saat mangulosi maupun digunakan sebagai pakaian resmi.
  2. Na Met-met. Jenis yang hanya digunakan sehari-hari. Ukurannya panjang dengan lebarnya jauh lebih kecil dari biasanya. Tidak digunakan dalam upacara adat.

Arti harfiah. Berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindungi dari  udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber panas bagi manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiganya, yang paling nyaman dan akrab dengan kehidupan tak lain kain tradisional ini.

Penggunaan. Kain ini digunakan bisa digunakan dari bagian tubuh atas hingga bawah. Dihadanghon bila disampirkan di bahu atau menjadi selendang. Untuk wanita disebut hoba-hoba  (bahu) atau ampe-ampe (selendang). Diabithon sebagai sarung atau saong. Dililithon ketika  dililitkan di kepala atau pinggang.  Pada pria disebut detar bila digunakan sebagai penutup kepala dan haen bila digunakan di bawah.

Uis atau Hiou. Suku Batak menyebut kain yang digunakan upacara adat dan sehari-hari adalah ulos. Suku Karo menamainya uis. Untuk jenisnya ada nama sendiri, seperti uis beka buluh, uis jungkit dilaki, uis nipeh padang rusak, uis nipes benang iring. Sedangkan suku Simalungun mengenalnya sebagai hiou. Muncul dengan motif yang berlainan juga, termasuk kekhasan pada penggunaannya sebagai penutup kepala.

Rita N./Toni H./Dok. TL

Adat Sekaten, Beda Yogya dan Solo (2)

Adat Sekaten Solo secara umum sama dengan yang digelar Kraton Yogyakarta, urutan detilnya yang ada perbedaan. Foto: Surakarta.go.id

Adat Sekaten yang diselenggarakan di Surakarta atau Solo secara garis besar, rentetan kegiatan serta pelaksanaannya bisa dibilang cukup serupa dengan yang diadakan di Yogyakarta. Kalau pun ada perbedaan, itu lebih pada detail-detail kecil.

Adat Sekaten

Adat Sekaten Solo juga diadakan selama sepekan dan pada kurun waktu yang sama pula dengan yang di Yogyakarta. Rangkaian acaranya pun mirip, ditandai dengan dikeluarkannya gamelan pusaka keraton Kasunanan Surakarta menuju ke Masjid Agung Surakarta.

Selama satu minggu, kedua gamelan pusaka Surakarta, Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, dimainkan selama gelaran adat Sekaten berlangsung. Di sela-sela permainan tersebut, juga aka nada pembacaan doa-doa serta ayat-ayat suci Al-Quran.

Adat Sekaten Solo memiliki beberapa hal yang berbeda dengan yang diselenggarakan di Yogyakarta.
Keraton Surakarta Hadiningrat. Foto: shutterstock

Konon, gamelan Kyai Guntur Madu merupakan peninggalan dari era Sri Susuhunan Pakubuwono IV, sementara Kyai Guntur Sari adalah peninggalan dari masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo di kerajaan Mataram.

Sebelum kegiatan tersebut, ada pula ritual yang dilakukan bagi para pengrawit (pemain seni karawitan) yang bertugas. Melakukan puasa, memberikan sesajen berupa kembang dan buah buahan kepada kedua gamelan pusaka, serta mengenakan seragam khusus selama acara berlangsung merupakan beberapa di antaranya.

Acara dibuka dengan adat Miyos Gongso, yaitu dibawanya kedua gamelan pusaka tersebut menuju area bangsal utara dan selatan masjid oleh sekitar 120 abdi dalem keraton. Dari situ, Kyai Guntur Madu akan dimainkan terlebih dulu, baru setelahnya Kyai Guntur Sari dimainkan.

Adat permainan pembuka kedua gamelan tersebut, yang disebut sebagai Ungeling Gongso, dianggap sebagai representasi akan dua kalimat syahadat. Ketika Kyai Guntur Madu dimainkan pertama kali, gending yang dimainkan berjudul ‘Rabbuna’ yang berarti Tuhan, representasi dari kalimat ‘aku percaya tiada Tuhan selain Allah’.

Setelahnya, pengrawit memainkan Kyai Guntur Sari dengan gending berjudul ‘Roukhun’. Secara etimologi, kata ini bermakna nabi atau khalifah, yang kemudian bisa dimaknai sebagai kalimat ‘aku percaya Nabi Muhammad adalah rasul Allah’.

Setiap harinya gamelan akan dimainkan mulai dari jam 09.00 sampai waktu sholat Dzuhur. Kemudian dimainkan lagi setelah sholat Ashar sampai waktu Maghrib. Setelah Isya, gamelan dimainkan kembali sampai pukul 24.00.

Gamelan juga tidak boleh dimainkan dari Maghrib di hari Kamis hingga setelah sholat Jumat. Kesemuanya menjadi tanda menghormati sholat lima waktu serta hari Jumat yang sakral bagi umat Muslim, sejalan dengan khitah Sekaten sebagai alat syiar Islam.

Ada pula beberapa adat lain yang serupa, misalnya seperti mengunyah sirih ketika gamelan pertama kali mulai dimainkan. Adat ini dipercaya sebagai doa agar senantiasa sehat dan awet muda.

Begitu pula budaya pasar malam sebagai pelengkap perayaan Sekaten. Di Solo, pasar malam Sekaten diadakan di alun alun utara dan selatan. Warga pun dapat datang serta berpartisipasi dengan berjualan kuliner-kuliner khas Solo, sebagai wujud turut meramaikan gelaran tersebut.

Tetapi memang ada beberapa perbedaan kecil pada detail pelaksanaan acara. Seperti misalnya tidak adanya budaya pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW serta Udhik-Udhik, alias menebarkan koin logam, beras dan bunga seperti yang dilakukan Sri Sultan di Yogyakarta.

Pada perayaan adat Sekaten di Solo juga tidak terdapat adat Numpak Wajik sebagai tanda persiapan pembuatan gunungan yang akan diarak pada acara puncak Grebeg Mulud. Tidak ada pula prosesi Kundur Gongso, yaitu pengembalian gamelan-gamelan pusaka kembali ke tempatnya.

Sebaliknya, salah satu adat Sekaten Solo yang tidak terdapat di perayaan Sekaten Yogyakarta adalah penggunaan janur kuning sebagai hiasan di bangsal masjid. Nantinya, beberapa janur tersebut akan diperebutkan warga sekitar sebagai tanda keberkahan.

Selain itu, di Yogyakarta gamelan-gamelan pusaka sudah mulai dimainkan pada malam sebelum pekan puncak perayaan Sekaten dilangsungkan. Pertunjukan gamelan ini berlangsung dari pukul 19.00 hingga 23.00.

Setelahnya, baru akan terjadi prosesi pemindahan gamelan-gamelan tersebut menuju Masjid Gede Kauman. Sementara di Solo, gamelan baru mulai dimainkan setelah prosesi Miyos Gongso dilaksanakan.

Perbedaan lainnya juga terletak pada detail pelaksanaan acara puncak, yakni Grebeg Mulud. Di Yogyakarta, gunungan yang dibuat biasanya sekitar 5 hingga 6 buah. Adapun di Solo, gunungan yang dibuat hanya ada dua, yaitu gunungan jaler dan estri.

Gunungan jaler merepresentasikan gunungan laki-laki, sedangkan gunungan estri sebagai gunungan perempuan. Lain daripada itu, gunungan tersebut sama-sama diarak dari keraton menuju masjid untuk didoakan, sebelum dibawa keluar dan diperebutkan oleh warga.

Adat Sekaton Solo diselenggarakan dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW.
Patung Slamet Riyadi sebagai salah satu landmark Surakarta yang berada di mulut masuk Alun-ALun Utara Keraton Solo. Foto: Dok. shutterstock

Isi dari gunungan tersebut pun sama-sama hasil alam seperti sayuran, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Warga setempat juga sama-sama percaya bahwa isi dari gunungan tersebut bermakna keberkahan, sehingga berebut mengambil isinya turut menjadi budaya.

Selebihnya, kedua upacara adat tersebut bisa dikatakan tak punya perbedaan signifikan lainnya. Niat dan semangat luhur dari keduanya pun sama-sama untuk merayakan, serta rasa syukur sebagai umat Islam dalam rangka hari raya Maulid Nabi Muhammad SAW.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Adem Ayem Solo, Legendaris Sejak 1969

Adem Ayem Solo adalah legenda kulinari kota ini. Foto IG Adem Ayem

Adem Ayem Solo layak disebut salah satu legenda kota Solo atau Surakarta, Jawa Tengah. Ia bisa menjadi salah satu opsi destinasi kuliner kala bertandang ke kota ini. Restoran ini menyediakan beragam pilihan kuliner khas kota ini, mulai dari gudeg Solo, nasi timlo, dan lain lainnya.

Adem Ayem Solo

Rumah makan ini sudah menemani masyarakat menikmati andrawina, tak hanya di kalangan warga Solo, tetapi menjadi klangenan wisatawan yang dolan ke Solo. Maklum, restoran ini sudah berdiri sejak 1969 dan dalam kurun waktu tersebut mampu meraih banyak pelanggan setia.

Salah satu pelanggan restoran ini adalah presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto. Semasa hidupnya, ia disebut-sebut kerap memesan hingga puluhan gudeg kendil, saat sedang berada di kediaman keluarganya di Ndalem Kalitan.

Begitu pula mendiang presiden Indonesia ke empat Abdurrahman Wahid yang juga pernah menjadi pelanggan, sejak sebelum menjadi presiden. Bahkan, pria yang akrab dengan panggilan Gus Dur ini dulunya punya area meja dan kursi favoritnya sendiri.

Adem Ayem Solo yang berdiri sejak1969 menjadi salah satu ikon kulinari kota Solo.
Patung Slamet Riyadi menjadi ikon kota Solo, sama seperti rumah makan Adem Ayem. Foto: shutterstock

Tak lupa, presiden Joko Widodo pun dikabarkan cukup sering makan di Adem Ayem Solo ini sejak masih menjabat sebagai Walikota Solo. Kabar yang beredar, ia kerap memesan gudeg kendil dan memberikannya kepada tamu-tamunya sebagai oleh-oleh.

Dengan reputasi yang demikian tersohor, tak ayal Adem Ayem Solo menjadi salah satu destinasi kuliner favorit di Solo. Sang pendiri dan pemilik restoran, Lies Rosmijati, hingga kini masih terus mengomandoi jalannya aktivitas restoran sehari-hari.

Tak tanggung-tanggung, wanita berusia 74 tahun ini bahkan masih berbelanja kebutuhan bahan-bahan masakan setiap paginya. Ia pun masih turut serta dalam proses mengolah dan memasak, sembari mengawasi kinerja pegawai-pegawainya.

Pada masa-masa awal ia mulai membuka restoran ini, beberapa pelanggan sempat mengeluhkan cita rasa masakan yang kurang pas, lantaran ibu lima anak kelahiran Yogyakarta itu terbiasa dengan masakan khas kota pelajar tadi yang cenderung lebih terasa manis.

Perlahan-lahan ia mencoba mengubah racikan masakan-masakannya, sehingga dapat menyesuaikan lidah orang Solo yang lebih gemar kuliner bercita rasa gurih. Usahanya pun berhasil dan restorannya semakin dibanjiri pengunjung.

Komitmen ini menjadi wujud usahanya untuk mempertahankan reputasi Adem Ayem Solo yang sudah melegenda. Ia bahkan pernah mencoba membuka cabang di kota lain, dan meskipun responnya cukup baik, ia memutuskan untuk menutupnya dan fokus pada restoran aslinya.

Adem Ayem Solo sendiri dikenal menyajikan beberapa menu-menu kuliner khas Solo. Salah satu menu andalannya adalah gudeg Solo, yang disajikan dengan nasi dan tambahan ayam, telur dan sambal goreng krecek pada satu porsinya.

Nasi Gudeg Adem Ayem Solo adem ayem IG
Gudeg Solo berbeda dengan gudeg Yogya yang cenderung manis, Ini lah salah satu sajian andalan Adem Ayem Solo. Foto: IG Adem Ayem

Kalau datang beramai-ramai bersama keluarga atau teman, bisa juga memesan gudeg kendil, yaitu gudeg yang disajikan dengan kendil, atau tempat penyimpanan dan penyajian makanan dari tanah liat. Gudeg kendiltersedia dalam pilihan ukuran kecil maupun besar.

Bagi kebanyakan orang, gudeg mungkin lebih identik sebagai kuliner khas Yogyakarta, namun rupanya Solo memiliki versi gudeg sendiri. Gudeg Solo disebut lebih bercita rasa gurih, berbeda dengan gudeg Yogyakarta yang cenderung terasa manis.

Kuliner lainnya yang patut dicoba adalah nasi liwet. Kuliner populer dari kota batik ini merupakan olahan nasi yang dimasak dengan air santan, dan disajikan dengan sayur labu siam, ayam suwir dan telur rebus.

Konon, nasi liwet Solo tercetus dari budaya perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Warga setempat merayakan hari besar tersebut dengan makan nasi yang diolah minyak samin, yang disebut merupakan salah satu makanan favorit Rasulullah.

Namun karena minyak samin tidak banyak beredar dan agak sulit untuk didapatkan, maka sebagai gantinya nasi kemudian diolah dengan air santan. Resep tersebut lantas menjadi populer dan kini sangat lazim ditemukan di Solo.

Selain itu, kuliner kota Solo yang sayang untuk dilewatkan di restoran ini adalah nasi timlo. Makanan berkuah bening ini cukup mirip dengan soto, yang disajikan dengan ayam suwir, potongan ati ampela, irisan sosis Solo, bihun dan telur pindang.

Selat Solo Adem Ayem Adem Ayem IG
Kulinari Solo lain yang disajikan adalah Selat SOlo. Foto: IG Adem Ayem

Bagi pecinta ayam goreng, Adem Ayem Solo juga menyediakan ayam goreng kremes yang juga direkomendasikan. Ayam yang digunakan adalah ayam kampung, yang dimasak dengan bumbu yang gurih dan kremesan yang renyah.

Menu-menu yang lebih ringan seperti galantin dan selat Solo pun juga tersedia di Adem Ayem. Untuk minuman, teh kampul alias teh dengan irisan jeruk peras yang segar turut melengkapi jajaran kuliner khas Solo di restoran ini.

Harga makanan-makanan tersebut pun tergolong relatif terjangkau. Nasi gudeg istimewa dengan tambahan lauk komplit misalnya, harganya Rp 37 ribu. Adapun nasi liwet dan nasi timlo, masing-masing dihargai Rp 33,5 ribu dan Rp 28 ribu.

Bagi yang ingin memesan gudeg kendil, harganya Rp 263 ribu untuk yang ukuran besar dan Rp 230 ribu untuk ukuran kecil. Sedangkan ayam goreng disediakan dalam wujud utuh seharga Rp 116 ribu atau Rp 29 ribu per potong.

Untuk hidangan ringan seperti galantin atau selat Solo sama-sama dihargai Rp 31,5 ribu, sementara teh kampul harganya Rp 16 ribu. Pilihan minuman lainnya bervariasi dari es cincau, es kelapa muda gula Jawa dan lainnya yang berkisar dari Rp 5,5 ribu hingga Rp 26,5 ribu.

Adem Ayem terletak di area pusat kota Solo, tepatnya di kawasan jalan Slamet Riyadi. Untuk mencari restoran ini pun terbilang cukup mudah, lantaran lokasinya tak jauh dari Loji Gandrung, bangunan bersejarah yang kini difungsikan sebagai rumah dinas walikota Solo.

Sebagai catatan bagi yang tertarik mencoba, restoran ini biasanya lebih ramai pada akhir pekan dan hari libur, utamanya pada musim liburan seperti saat libur Idul Fitri. Selain itu, saat malam hari biasanya kerap ada pertunjukan live music keroncong.

Adem Ayem buka setiap hari dari jam 06.00 hingga jam 21.00. Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi (0271) 712891, atau lewat akun resmi Instagram @ademayem_solo.

Rumah Makan Adem Ayem; Jl. Slamet Riyadi no. 342, Solo

agendaIndonesia/audha alief P.

*****

Ulos, Persaudaraan, Pengharapan dan Sebuah Nasehat (Bagian 1)

Ulos Kain tradisional Batak shutterstock

Ulos dalam adat dan tradisi Batak bukan sekadar lembaran kain yang dipakai dalam upacara-upacara istiadat. Di dalamnya mengandung makna yang luar biasa dalam. Ia juga mengandung arti persaudaraan, pegharapan dan nasehat.

Ulos, Adat Dan Tradisi

Di sepotong siang yang terik, pada sebuah rumah berlantai semen berdinding tembok tanpa cat di Desa Penampangan, Samosir, Sumatera Utara, Rini yang kini berusia 12 tahun itu tengah berasyik-masyuk bersama hasoli dan turak. Di sekitarnya tampak pula pagabe, baliga, hatudungan, sidurukan, pamapan, panghulhulan, dan juga panggiunan. Berbagai nama tersebut di atas bukanlah nama teman bermain dari sang dara, melainkan bagian-bagian dari alat tenun. Di sudut yang lain si nenek memendangi sang cucu yang tengah martonung (menenun), dengan rasa bungah.

Hasoli adalah  tempat gulungan benang dan turak  yang terbuat dari bambu kecil yang berfungsi memasukkan benang di sela-sela benang yang ditenun.  Turak dan hasoli menyatu dan berjalan seiring. Turak lah yang membuka jalan sehingga benang bisa menari di antara untaian benang lain sehingga membentuk beragam motif. Pendukung lainnya, pagabe berupa dua potong kayu yang mengapit tubuh, sehingga menopang tubuh sekaligus menjadi penahan alat tenun. Pamapan termasuk bagian utama dari alat tenun, berupa kayu besar dan dua kayu di kiri dan kanan.

Di bagian tengah, di antara benang dan kain setengah jadi, ada baliga, yang memadatkan benang-benang yang terjalin. Sidurukan adalah tempat menaruh baliga. Ada pula panghulhulan berfungsi seperti palet pada mesin jahit, penggiunan adalah penarik benang. Benangnya sendiri disebut giun, dan alat untuk memasang benang sebelum ditenun adalah hatonungan. Lantas alat tenun itu sendiri tak lain alat tradisional gedogan.

Itulah seperangkat alat tenun yang telah menjadi teman akrab Rini sejak kelas 5 Sekolah Dasar, Jemarinya yang lentik selalu memainkannya lidi-lidi yang membentuk konfigurasi benang menjadi motif atau corak kain. Ini dilakukannya selama 2-3 jam saban pulang sekolah. Kini Rini biasa merampungkan selembar ulos berukuran panjang 1,5 meter lebar 40 sentimeter dalam sepekan. “Dia masih anak-anak, lidi yang dipakai baru lima, belum bisa bikin yang pakai banyak warna,” kata si opung.

Dalam adat Batak, remaja yang baru belajar menenun memang hanya diperboleh membuatkan ulos parompa yang digunakan untuk menggendong anak. Tingkat kemahiran ditentukan oleh jumlah lidi yang digunakan. Pada tingkat mahir, penenun biasanya menggunakan tujuh buah lidi sekaligus. Itu yang disebut marsipitu lili. Pada level ini, mereka telah bisa membuat semua jenis ulos. Dalam membuat ulos, semakin banyak lidi yang digunakan, maka corak pun semakin beraneka.

Menurut penuturan si nenek Rini, masyarakat sekarang cenderung menyukai ulos yang dipenuhi dengan benang emas. Menurut si opung, makin banyak warna makin tinggi nilai rupiahnya. Ulos biasa dijual pada kisaran harga Rp 150-400 ribu. Tak jauh dari rumah Rini itu, ada pula beberapa rumah yang juga memproduksi ulos. Biasanya, dalam setiap rumah prosuksi, paling tidak ada lima perempuan penganggit. Seorang di antaranya sudah dalam tingkat mahir, atau beraksi dengan 12 lidi.

Di desa yang berlokasi sekitar 40 km dari Tomok, pelabuhan kecil untuk penyeberangan feri ke Parapat, ini memang dihuni oleh banyak penenun, hingga menjadi magnet tersendiri bagi para pedagang ulos. Di satu jalan desa saja, dalam jarak hanya 500 meter sudah ada tiga kelompok penenun, salah satunya memiliki keunikan karena masih tinggal di rumah adat dan mereka menggelar tikar di depan rumah dan duduk beramai-ramai menenun. Selalu ada pedagang dari luar yang rutin datang mengumpulkan kain adat tersebut.

Di halaman tanah memanjang itu ada dua kelompok perempuan asik dengan gedogan. Salah satunya perempuan boru Silalahi, 62 tahun. Di kiri kanan diapit saudaranya. Tak hanya ulos tapi juga songket Batak pun dibuatnya. Kain songket dalam warna kuning dan biru tampak mencolok. Semuanya ia pajang di tali yang merentang di depannya sehingga mirip jemuran. Perempuan ramah itu mengaku bisa membuat ulos jenis apapun dan dari daerah manapun di Sumatera Utara. “Bisa pesan kalau mau,” ujarnya.

Jenis ulos setiap wilayah di Sumatera Utara berbeda. Ibu lima anak itu bisa dengan rinci menjelaskan beberapa perbedaan itu. Ulos Batak Toba, misalnya, kebanyakan bercirikan  warna redup, dominasi pada hitam dan abu-abu dengan corak yang lebih simpel. Berbeda lagi dengan ulos Karo. Banyak menggunakan warna dasar merah dan terang. Dan kain tradisional itu disebut sebagai uis. Sedangkan ulos Tarutung  memunculkan corak beragam dan warna cerah. Demikian juga dengan ulos Simalungun yang bermain dalam warna biru, merah, dan oranye selain juga hitam. Dikenal sebagai hoiu.

Hanya beberapa meter dari boru Silalahi, empat perempuan lanjut usia tengah tenggelam dalam keasyikan memainkan baliga dan lidi. Tanpa bersuara. Keempatnya menenun dengan teknik ikat lungsi – mengikat benang yang disusun memanjang – dan ketekunan menjadi modal utamanya. Tak mengherankan lebih banyak kaum Hawa dan lebih dominan juga yang berusia lanjut ketimbang remaja. Beruntung di Samsosir, jumlah penenun masih cukup banyak. Di Desa Perbaba, dekat Pangururan, pun bisa ditemukan lagi kelompok penenun.

Bahkan pengusaha kain ulos di Pematang Siantar pun, banyak yang belajar menenun di Samosir, dan beberapa malahan memang berasal dari kabupaten tersebut. Di Parluasan, tak jauh dari pasar, penenun berkumpul di beberapa rumah, setiap rumah ada sekitar 5-7 penenun. Sejumlah penenun Samosir pun mengadu nasib ke Medan. Di ibu kota Sumut, aneka ulos dan songket itu dijual di Pasar Sentral atau tepatnya di Pusat Pasar Lama. 

Ada sekitar 12 kios yang menjajakan aneka kain tradisional, tak hanya ulos tapi juga aneka songket, lengkap dengan kebaya. Salah satunya milik boru Simbolon yang mengusung nama UD Parna Tex, ia menjual kain dari harga Rp 15 ribu hingga Rp 1,5 juta. Satu motif pun bisa berbeda harga, tergantung jenis benang dan pengerjaannya, misal ulos ragi hotang ada yang dijual Rp 50 ribu, tapi ada pula yang lebih halus Rp 150-200 ribu.

Ulos memang tak bisa terpisahkan dari kehidupan suku Batak. Dalam suka maupun duka. Bahkan setiap masa penting dalam kehidupan seseorang pun tak lepas dari ulos. Ada tiga momen penting yang dimaknai dengan ulos, yakni kelahiran, pernikahan, dan kematian. Setiap kesempatan itu, ulos yang digunakan berbeda. Sewaktu lahir, kakek nenek memberi ulos parompa atau ulos gendong, kemudian ketika menikah akan menerima ulos hela (ulos untuk menantu) dan ketika meninggal mendapat ulos saput. Pemberinya adalah kelompok marga dari istri atau dalihan natulo yang disebut sebagai hula-hula.

Jadilah mangulosi atau memberi ulos menjadi ritual yang penting dalam adat Batak. Pemberian itu tak hanya seperti kado biasa, ketika seorang pelancong membeli ulos sebagai suvenir dan menyebarkannya kepada handai tulan atau sahabat ketika kembali ke kota asalnya. Melainkan mengandung makna yang dalam, yakni pemberian restu, menunjukkan rasa kasih sayang, pengharapan pada hal-hal yang baik. Makna itu tersurat dalam pepatah lawas, Ijo pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong. Maknanya, jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.

Maka ketika diberikan kepada menantu laki-laki, ulos berarti sebuah nasehat agar paham kerabat yang harus dihormati, hormat kepada kerabat istri dan lemah lembut kepada keluarga. Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, ulos juga menjadi sebuah penghormatan terhadap jasanya sebagai istri. Sekaligus juga menjadi tanda bahwa dia telah menjadi janda. Secara umum, ada beberapa ketentuan dalam ritual adat ini. Misal yang diberi ulos haruslah secara silsihan keturunan berada pada tingkatan di bawah pemberi ulos, kemudian jenis yang diberikan juga harus sesuai dengan kesempatannya. Apakah kelahiran, pernikahan atau kematian? Motif dan warnanya selalu berbeda.

Dari motif ada pula nama-nama khususnya dan corak pun menjadi sebuah simbol. Beberapa yang dikenal luas adalah ragidup, ragi hotang. bintang maratur, sadum, suri-suri panjang, mangiring. Lantas dari penggunaannya, ulos bisa digunakan di beberapa bagian tubuh, seperti di kepala, penutup bahu, selendang, di bagian tubuh bawah hingga menjadi kain gendongan. Makna, fungsi dan kesempatan penggunaannya membuat ulos memang begitu kompleks sekaligus menjadi sebuah kebanggaan bangsa ini.

Rita N./Toni H./Dok. TL

Keliling Bogor, 2 Hari yang Menyegarkan

Keliling Bogor adalah salah satu cara refreshing yang paling memungkinkan saat ini di tengah pendemi yang belum usai. Dan pilihan yang lebih ideal adalah menikmati alam di kota hujan di Jawa Barat ini.

Keliling Bogor

Akhir pekan pekan yang asyik di tengah suasana yang belum longgar ini, kita tidak perlu jauh-jauh, Bogor bisa menjadi pilihan. Kota Hujan, yang hanya berjarak 48 kilometer dari Jakarta, memiliki pilihan obyek wisata alam dan kuliner menggoda. Dengan beberapa teman atau keluarga, berikut pilihan liburan selama dua hari bisa membuat tubuh dan pikiran kembali segar serta rileks.

Keliling Bogor dalam 2 hari yang terbaik adalah menikmati keindahan alam kota ini, salah satunya Curug Seribu.
Curug Seribu, Bogor. Foto: Dok. shutterstock

Hari 1: Alam Gunung Salak

Sebaiknya Anda berangkat pagi hari agar perjalanan tidak terhambat kemacetan. Begitu tiba di pusat Kota Bogor, arahkan kendaraan menuju Jalan Suryakencana untuk mencari sarapan. Di sepanjang jalan ini, terutama di sekitar Gang Aut, berderet warung makan dan gerobak penjaja makanan, seperti soto mi, taoge goreng, dan es pala.

Setelah perut kenyang, baru Anda pergi ke Wana Wisata Gunung Salak Endah. Jalur termudah adalah dengan melewati kampus Institut Pertanian Bogor di Dramaga menuju Ciampea. Sekitar satu jam perjalanan, Anda akan tiba di pintu masuk kawasan dan disambut keteduhan pohon pinus yang menjulang di kanan-kiri jalan utama. Ada banyak obyek wisata di kawasan ini, seperti Curug Seribu, Curug Cigamea, Curug Ngumpet, dan Kawah Ratu. Curug adalah bahasa lokal untuk air terjun.

Di antara sederet air terjun tersebut, Curug Seribu dan Cigamea paling populer. Bagi yang menyukai tantangan, bisa terus melangkah ke Curug Seribu, yang jalan masuknya sejauh 3 kilometer dengan bebatuan terjal dan licin. Kesulitan menuju lokasi ini terbayar ketika Anda tiba di air terjun yang tingginya mencapai 100 meter itu. Sayangnya, Curug Seribu hanya dibuka sampai pukul 13.00 karena sering turun hujan, sehingga jalan menjadi lebih licin dan berbahaya.

Sedangkan Curug Cigamea lebih ramah pengunjung. Jalan sepanjang 1,5 kilometer sudah dipasangi paving block serta pagar besi pengaman. Ada dua air terjun, yang pertama lebih pendek dengan curahan air terpencar dinding batu, sementara yang kedua diapit tebing dengan curahan air lebih deras dan langsung mengalir ke sungai.

Airnya bening dan dingin dengan arus yang tenang, sehingga aman untuk bermain di bawahnya. Di sekitar curug juga ada banyak pedagang yang menjajakan makanan dan suvenir. Bahkan, ada kolam bola dan kolam terapi relaksasi ikan.

Pengunjung bisa bermain di sekitar air terjun sepuasnya hingga sebelum gelap. Keluar dari Gunung Salak Endah, ada banyak resor dan vila yang bisa menjadi tempat untuk menghabiskan malam dengan pemandangan Kota Hujan dari pegunungan, seperti Michael Resort. Pilihan lainnya, berkemah di alam terbuka di Bumi Perkemahan Gunung Bunder dekat pintu masuk kawasan itu. Jika tidak, Anda bisa langsung menuju Kota Bogor, yang memiliki sederet hotel bintang maupun non-bintang.

Sebelum beristirahat, lebih baik mampir ke Jalan Pangrango untuk bersantap malam. Di sepanjang jalan ini hingga Taman Kencana, ada sederet tempat makan dan nongkrong dengan beragam sajian. Para penyuka hidangan Barat, seperti pizza dan pasta, bisa mampir ke Kedai Kita. Jika mencari penganan ringan, cobalah pie khas Pia Apple Pie atau macaroni Panggang. Semua tempat itu bersuasana nyaman.

Keliling Bogor pastikan beli roti unyil venus, oleh-oleh khas Bogor
Roti Unyil Venus, Bogor. Foto: Dok. shutterstock

Hari kedua: Oleh-oleh dan Seputar Sentul

Sebelum meninggalkan Bogor, tidak ada salahnya mencari oleh-oleh. Dari yang sudah lama ngetop, seperti asinan, dan roti unyil, hingga yang terbaru berupa aneka kue dari talas. Roti unyil bisa ditemukan di Venus, yang ada di Ruko V Point, sebelah Ekalokasari Plaza, Sukasari. Jika menginginkan sajian segar, Anda bisa mampir ke Asinan Gedung Dalam di Jalan Siliwangi. Atau, di sebelah toko Venus pun ada cabangnya. Apa Anda doyan lapis talas Sangkuriang? Penganan ini bisa dibeli tidak jauh dari toko Asinan Gedong Dalam, yakni di Kompleks Ruko Bantar Kemang, Jalan Pajajaran. Tersedia dalam beragam rasa, seperti keju, teh hijau, cokelat, dan tiramisu.

Setelah puas berbelanja, saatnya menuju Sentul untuk menikmati air terjun dan air panas. Letak obyek wisata ini searah dengan perjalanan ke Jakarta, sehingga Anda bisa sekalian pulang. Ada dua pilihan. Bila membawa anak, Anda bisa mampir di Sentul Paradise, yang menawarkan wisata air terjun, kolam bermain, dan flying fox. Untuk mencapainya, tinggal arahkan kendaraan menuju perumahan Sentul City, tepatnya ke Jungleland. Sebelum pintu masuk Jungleland, bila ingin langsung menuju Wana Wisata Gunung Pancar, ambil jalan ke kanan menuju Desa Karang Tengah. Sebaliknya, jika ingin mampir ke Sentul Paradise, Anda harus berbelok ke kiri.

Keliling Bogor dan menikmati keindahan alamnya, salah satunya mengunjungi Wana Wisata Gunung Pancar.
Bebatuan di Kawasan Gunung Pancar, Sentul, Bogor. Foto: Dok. shutterstock

Berada di ketinggian, di antara bukit-bukit, pemandangan di sini cukup menyegarkan. Setelah itu, Anda bisa kembali ke arah Sentul dan menuju Desa Karang Tengah untuk mencapai Gunung Pancar, yang dikelilingi hutan pinus bertanah merah. Jalannya yang menanjak sering kali digunakan sebagai jalur bersepeda juga.

Ada tiga macam pemandian di sini. Yang paling banyak dikunjungi untuk terapi adalah yang terbawah dan terpanas. Kolamnya dipisahkan untuk laki-laki dan perempuan. Tidak ada tambahan biaya buat menikmati pemandian ini. Pengunjung disarankan hanya berendam 20-30 menit. Jika tak ingin bercampur dengan pengunjung lain, Anda bisa menyewa kolam VIP di bagian atas pemandian pertama. Ada tujuh kolam yang disewakan seharga Rp 100 ribu per keluarga untuk satu jam. Selain itu, pengunjung bisa merasakan terapi pijat dengan tekanan air panas. Berjalan lebih ke atas, ada pemandian ketiga yang lebih besar dengan tiga jenis kolam, yakni bersuhu panas, hangat, dan dingin. Di dekat kawasan ini ada juga resor, yakni Vila Sidomukti, bagi yang ingin menginap dengan nyaman.

Namun bila memiliki jadwal padat, apalagi tubuh sudah terasa segar, Anda bisa langsung kembali ke Jakarta. Sebelumnya, isi dulu perut di resto sekitar Sentul, seperti Panjang Jiwo atau Gumati. Di Panjang Jiwo, Anda dapat menikmati suasana pedesaan selagi menyantap nasi timbel dan es kelapa muda dengan dikelilingi kolam ikan serta pepohonan rindang.

agendaIndonesia

*****

Sensasi Langit Jakarta Dari Pencakar Langit Lantai 49

Sensasi Langit Jakarta di Cloud

Sensasi Langit Jakarta bisa dinikmati dari mana saja, sesungguhnya. Tapi tak ada salahnya sekali-kali memandang langit ibukota dari lantai 49 sebuah gedung pencakar langit. Cloud menawarkan sensasi menikmati senja dan pemandangan kota malam hari.

Sensasi Langit Jakarta

Matahari yang condong ke ufuk barat mulai membentuk lembayung senja. Cahayanya mengubah cakrawala menjadi merah jingga. Sebuah momen yang mungkin jarang ditemui di sudut langit Jakarta. Sebuah momen indah yang memperlihatkan betapa masih cantiknya Ibu Kota.

Tanpa ada yang mengomandoi, puluhan pengunjung Cloud Lounge & Dining Room langsung mengabadikan momen tersebut. Suasana yang tadinya relatif cukup senyap, mendadak riuh. Kesempatan ber-selfie dengan latar belakang lembayung senja itu tak dilewatkan oleh pengunjungnya begitu saja.

Bertempat di Lantai 49 Gedung The Plaza Office Tower di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, lounge yang berada di luar ruangan itu memang menawarkan sensasi pemandangan langit Jakarta dari sudut berbeda. Kita dapat menikmatinya saat matahari tenggelam. Setelah fajar menyingsing, yang tersisa hanyalah hamparan langit pekat dan lampu-lampu gedung perkantoran yang mulai berpendar. Lampu-lampu rumah dan kendaraan yang berlalu-lalang di bawahnya tampak seperti kunang-kunang.

Pemandangan indah Kota Jakarta, dipadu dengan interior yang elegan, membuat nyaman para pengunjungnya dan jauh dari hiruk pikuk kemacetan Ibu Kota. Kebanyakan meja di lounge luar ruangan ini didominasi oleh sofa-sofa memanjang. Namun ada pula pilihan untuk duduk-duduk di dekat flaming bar. Setiap sore menjelang malam, ada api yang berkobar pada bagian atap bar.

Cloud juga menawarkan pengalaman berbeda untuk pengunjungnya. Di salah satu sudut lounge luar ruangan terdapat sebuah vodka room. “Ruangan ini memiliki suhu minus 2 derajat Celcius,” ujar General Manager Cloud Lounge & Dining Room.

Di ruangan ini pengunjung dapat menikmati pengalaman berbeda saat menikmati Grey Goose Vodka, salah satu vodka terbaik di dunia. Untuk memasuki ruangan ini, pihak manajemen menyediakan jaket penahan dingin.

Selain di luar ruangan, Cloud menyediakan lounge dalam ruangan. Desain interior pun terkesan elegan. Langit-langitnya menggunakan unsur kayu. Sedangkan ornamen dinding ruangan yang disapu warna keemasan menimbulkan kesan mewah. Sama seperti lounge di luar, di dalam pun terdapat sebuah bar. Di sudut ruangan terdapat sebuah dining room. “Ruangan ini memang sengaja kami hadirkan untuk pengunjung yang ingin menikmati makan malam,” katanya.

Setelah cukup lama menghabiskan waktu berkeliling dan mengagumi keseluruhan tempat, saya memutuskan duduk di luar ruangan dan memulai petualangan kuliner. Chocolate Lava Cake hadir pertama menyapa. Hidangan ini berupa kue cokelat dengan taburan gula halus di atasnya dan es krim cokelat. Saat kue dipotong, lelehan cokelat panas mengalir seperti lava yang mencair.

Saat dicicipi, rasa cokelatnya benar-benar menggoda. Es krim yang menggunakan cokelat asal Belgia pun tak kalah menggiurkan. Hidangan seharga Rp 55 ribu ini memberi sensasi panas-dingin dalam waktu bersamaan. Sebagai saran, sebaiknya Chocolate Lava Cake langsung disantap ketika dihidangkan.

Sensasi langit Jakarta sambil menikmati Steak di Cloud

Setelah dibuat terkesan oleh hidangan pertama, saya lantas mencicipi Beef Tataky with Vegetables and Achimichurri Sauce. Sajian dengan nama yang cukup rumit ini terbagi atas berbagai jenis sayuran, seperti asparagus, tomat ceri, jamur, kentang kecil, dan diapit potongan daging sapi sirloin yang sudah teriris. Tumpukan potongan kentang goreng tersaji di sudut piring. Mereka tertata rapi.

Pada gigitan pertama, daging sapi dengan tingkat kematangan yang tepat terasa amat empuk dan kaya rempah. Tak ada rasa yang mengecewakan memang untuk hidangan seharga Rp 260 ribu ini. Achimichurri Sauce asal Argentina itu benar-benar melengkapi kesempurnaan Tataky with Vegetables and Achimichurri Sauce.

Kegiatan makan tersebut memang belum lengkap tanpa hadirnya minuman. Saatnya untuk menuntaskan hari yang penat bersama racikan signature para bartender Cloud. Saya berkesempatan untuk menyeruput jejeran cocktail andalan mereka di antaranya Purple Widow dan Tiramisu. Purple Widow berupa perpaduan antara vodka, blueberry syrup, cranberry juice, dengan pecahan es batu. Daun basil di bibir gelas menjadi penghias pelengkap minuman seharga Rp 150 ribu ini. Minuman dingin ini memang menyegarkan. Perpaduan rasa ketiganya bercampur harmonis.

Minuman yanghadir belakangan, Tiramisu, terlihat mempesona. Penyajian minuman seharga Rp 130 ribu ini unik. Potongan es batu tidak dicampur ke dalam minuman, tapi diletakkan terpisah dalam gelas yang berada di bawahnya. Bubuk cokelat dan krim mengambang di atas campuran rum, Irish liquer, coffee liquer, dan noisette syrup.

Tak terasa, malam terus merangkak naik. Alunan musik genre house music masih tetap mengalun. Momen melepas penat sembari ditemani pemandangan malam yang indah dari ketinggian terasa sempurna sudah. Cloud sukses memberi pengalaman lengkap dalam rupa lounge dengan sensasi tersendiri.

Cloud Lounge & Dining Room

The Plaza Office Tower Lantai 49

Jalan M.H Thamrin Kav 28-30, Jakarta Pusat

Andry T./Frann/Doc. TL

Tradisi Sekaten, Apa Beda Yogya dan Solo (1)

Tradisi Sekaten menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Yogyakarta

Tradisi Sekaten bagi masyarakat Jawa adalah saat di mana kegembiraan dan rasa syukur dirayakan. Dalam budaya Jawa, tradisi ini merupakan kegembiraan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Acara ini biasanya dilakukan setahun sekali, merunut pada kalender Jawa dari tanggal 5 hingga 11 Mulud, atau Rabiul Awal dalam kalender Hijriyah.

Tradisi Sekaten

Tahun ini perayaan tersebut tengah berlangsung dan diselenggarakan antara 16 September hingga 16 Oktober. Dengan puncaknya saat Maulid Nabi Muhammad SAW pada 7-8 Oktober.

Ada beberapa versi mengapa perayaan ini disebut Sekaten. Yang paling populer adalah nama ini menyadur dari sebuah kata dari bahasa Arab ‘syahadatain’ yang bisa diartikan sebagai persaksian, sebagaimana umat Islam bersaksi akan kepercayaan mereka terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW dalam kalimat syahadat.

Tradisi Sekaten merupakan kegembiraan menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tradisi Sekaten Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Foto: dok. shutterstock

Versi lainnya menyebutkan bahwa Sekaten berasal dari gabungan kata ‘suka’ dan ‘ati’ dalam pelafalan Jawa. Artinya, Sekaten dimaknai sebagai rasa suka cita masyarakat Jawa dalam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ada pula versi yang mengatakan bahwa tradisi Sekaten terinspirasi dari nama salah satu gamelan pusaka milik keraton Yogyakarta, yang dinamai Kanjeng Nyai Sekati. Gamelan pusaka ini biasanya akan digunakan dalam rangkaian perayaan tradisi tersebut.

Asal-usul acara perayaan ini sendiri diyakini bermula dari jaman kerajaan Demak. Kala itu, salah seorang anggota Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga, menyelenggarakan acara ini sebagai media berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam.

Acara tersebut biasanya berupa pentas seni karawitan atau musik gamelan yang dilaksanakan di halaman Masjid Agung Demak pada saat itu. Menurutnya, mayoritas masyarakat Jawa ketika itu menggemari acara karawitan, sehingga banyak yang kemudian akan berbondong-bondong datang.

Lewat seni karawitan tersebut, ia lantas memanfaatkan momen itu untuk berkhotbah dan membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Dari situlah, banyak orang yang kemudian ikut tertarik untuk belajar dan memeluk agama Islam.

Budaya tersebut kemudian dicampur dengan adat kerajaan Majapahit yang melakukan arak-arakan dengan menggunakan sesajen. Hal ini sebagai wujud penghormatan pada arwah leluhur, dalam konteks tradisi Sekaten sebagai penghormatan bagi Nabi Muhammad SAW sekaligus doa agar rakyat senantiasa sejahtera dan berkehidupan seperti sang suri teladan.

Upacara adat ini kemudian lazim dilaksanakan oleh dua keraton kesultanan Mataram Jawa, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Yogyakarta dan di Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Solo. Secara umum kedua acara dilaksanakan dengan adat yang mirip, walaupun ada juga beberapa perbedaannya.

Di Yogyakarta dulunya acara ini diadakan di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta, yang terletak di area alun-alun utara. Acara biasanya dimulai dari jam 16.00 hingga 24.00, selama sepekan kecuali pada malam Jumat atau Kamis malam. Gamelan pusaka tak boleh dimainkan pada periode tersebut sampai setelah sholat Jumat.

Sebelum acara dimulai, tiga gamelan pusaka keraton yakni Kanjeng Nyai Sekati, Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga dikeluarkan dari keraton dan diletakkan di halaman masjid. Prosesi ini menandakan bahwa upacara adat siap dilaksanakan.

Para Abdi Dalem keraton yang bertugas memainkan gamelan pusaka juga diminta melakukan ritual tertentu sebelum pergelaran dimulai. Mereka diharuskan berpuasa sambil melakukan siram jamas (mandi sambil keramas) sebelum dibolehkan berpartisipasi.

Gamelan pusaka tersebut konon dibuat oleh Sunan Giri yang pandai berkesenian karawitan. Alat pemukulnya terbuat dari tanduk kerbau, yang dapat menghasilkan bunyi yang jernih dan nyaring. Cara memukulnya pun harus diangkat setinggi dahi sebelum dipukul.

Daftar lagu-lagu yang dimainkan juga khusus untuk acara ini, dan dinamakan Gendhing Sekaten. Beberapa lagu ini dulunya disebut menjadi lagu yang dimainkan pada acara karawitan di jaman kerajaan Demak.

Di sela-sela pementasan tersebut, akan diselipkan beberapa kegiatan yang melengkapi rangkaian acara, seperti tari tradisional dan pembacaan ayat suci Al-Quran. Ketika acara dimulai ada pula budaya mengunyah sirih di sekitar halaman masjid. Budaya ini diyakini sebagai wujud doa agar sehat selalu dan awet muda.

Lalu, pada malam hari, ketika Sri Sultan Hamengkubuwono hadir di tempat, ia akan melakukan Udhik-Udhik atau menyebarkan koin logam kepada guru besar masjid, Abdi Dalem dan warga yang hadir. Koin-koin tersebut dipercaya sebagai simbol meraih keberuntungan dan kesejahteraan.

Sri Sultan biasanya akan hadir pada saat pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Pada momen itu, beliau akan dipasangkan bunga cempaka pada telinga sebelah kanan. Biasanya ini terjadi pada malam terakhir perayaan Sekaten.

Di luar masjid, akan terdapat banyak penjual nasi gurih beserta lauk pauknya yang dinamakan nasi wudug, yaitu nasi yang dibuat dengan minyak samin. Nasi ini konon disebut sebagai salah satu makanan kesukaan Nabi Muhammad SAW.

Biasanya akan terdapat pula pasar malam Sekaten yang diselenggarakan di area alun-alun. Walaupun akhir-akhir ini, acara tidak lagi diadakan di sana untuk menjaga kebersihan dan ketertiban di area alun-alun.

Secara teknis pasar malam bukan bagian utama dari acara. Tetapi gelaran ini tetap dilaksanakan selama sebulan penuh dalam kurun waktu bersamaan dengan tradisi Sekaten, agar warga dapat turut andil dalam meramaikan perayaan tersebut.

Antara hari keempat hingga keenam perayaan, akan dilakukan adat tradisional yang disebut Numplak Wajik. Pada momen ini, kentongan dan lumpang akan dibunyikan. Kegiatan ini juga biasa disebut ‘kotekan’, yang menandai dimulainya persiapan pembuatan gunungan yang akan diarak pada acara puncak.

Pada akhir acara di hari terakhir, akan ada prosesi pengembalian gamelan pusaka kembali ke tempatnya di keraton, yang dinamakan Kondur Gongso. Prosesi ini sekaligus menandai berakhirnya rangkaian perayaan tradisi Sekaten.

Tradisi Sekaten diselenggarakan dua kraton di Jawa, Yogyakarta dan Surakarta. Walaupun semangatnya sama, ada sejumlah perbedaan di natara ke duanya.
Gunungan Sekaten yang terdiri dari hasil bumi sebagai simbol kesejahteraan. Foto: DOk. shutterstock

Namun puncak acara akan berlangsung pada keesokan harinya, persis pada hari Maulid Nabi, yang lazim disebut Grebeg Maulud. Ini merupakan acara arak-arakan gunungan oleh seluruh brigade pasukan keraton. Acara ini biasanya berlangsung dari jam 08.00 sampai 11.00.

Gunungan yang dimaksud di sini adalah makanan dan bahan bakunya seperti beras ketan, sayuran dan buah-buahan yang disusun menggunung. Gunungan tersebut melambangkan rasa syukur atas kemakmuran hasil bumi.

Biasanya, gunungan dibagi menjadi beberapa jenis dan simbolnya, seperti gunungan kakung, putri, dharat, gepak dan pawuhan. Gunungan kakung memiliki simbol sebagai sang baginda raja, gunungan putri sebagai permaisuri, gunungan dharat dan gepak sebagai para pangeran dan putri, serta gunungan pawuhan sebagai cucu-cucunya.

Gunungan-gunungan tersebut kemudian dibawa ke Masjid Gede untuk didoakan. Setelah selesai, gunungan lantas dibawa ke area alun-alun untuk diperebutkan warga. Lazimnya, beberapa di antara mereka adalah petani. DI masa kini tentu saja semua warga masyarakat.

Mereka percaya gunungan yang telah didoakan bernilai sakral, sehingga bagian dari gunungan yang mereka dapatkan akan ditanam di sawah dan ladang mereka. Harapannya, sawah dan ladang mereka akan senantiasa subur, bebas bencana dan dapat dipanen hasil yang terbaik.

Namun secara mendasar Grebeg Maulud ini menjadi simbol kepedulian Sri Sultan dan keraton kepada warganya, agar mereka dapat turut hidup dalam keberkahan dan kesejahteraan. Sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW untuk senantiasa murah hati, bersedekah dan membantu mereka yang membutuhkan.

(Bersambung ke Bagian 2)

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Seven Wonders of Bali, 7 Wisata Wajib Lama (Bagian 2)

Seven wonders of Bali di antaranya Gunung Batur

Seven Wonders of Bali atau tujuh keindahan Bali adalah tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata utama Bali ketika pulau ini belum semeriah saat ini. Pulau Bali memiliki banyak objek wisata menarik untuk dikunjungi, namun sejak dahulu ada tujuh tempat wisata yang selalu menjadi barometer pariwisata pulau Dewata ini. Ada lokasi atau atraksi yang senantiasa menjadi wajib kunjung.

Tulisan ke dua.

Seven Wonders of Bali

SANGEH ATAU MONKEY FOREST

Belum lengkap rasanya mengunjungi Bali tanpa mampir bertemu ratusan monyet ekor panjang di Sangeh. Berada di pinggir jalan dari arah Abiansemal ke arah Petang, di kabupaten Badung, sekitar 25 km sebelah utara Denpasar, Hutan Bukit Sari Sangeh merupakan hutan pala berumur ratusan tahun. Sangeh sendiri berasal dari kata “sang” (manusia) dan “ngeh” (melihat) karena konon menurut hikayatnya, pepohonan pala tersebut sedang dalam perjalanan suci dari Gunung Agung ke arah barat namun karena dipergoki mata manusia maka perjalanan  tersebut terhenti di Sangeh. Kini pepohonan pala tersebut menyebar sekitar 10 hektare luasnya dan menjadi rumah bagi sekitar 500 kera macaca fuscicularis.

Di tengah hutan terdapat beberapa pura yang dibangun oleh keraton Mengwi pada abad ke-17 dengan Pura Bukit Sari sebagai pusatnya.  Para kera ini dipercaya sebagai para prajurit Hanuman yang menjaga Pura Bukit Sari, dan oleh karenanya penduduk setempat tak ada yang mengganggu gugat kehidupan mereka. Jika dulu monyet Sangeh dikenal galak, kini justru sebaliknya, monyet di Sangeh  telah jauh lebih jinak. Monyet berbulu kelabu tersebut tidak takut pada manusia, bahkan gemar mendekat untuk berfoto bersama dan menjadi atraksi bagi para pelancong. Monyet di Sangeh kini terhitung paling jinak dibandingkan yang berada di Uluwatu atau Monkey Forest, Ubud. Pengunjung hanya perlu menundukkan badan dan monyet-monyet itu dengan lincah akan melompat ke atas bahu, meminta gendong. Jika ingin melepaskan gendongan, pengunjung cukup mencondongkan tubuh ke bawah maka mereka akan melompat turun.

Obyek Wisata Bukit Sari Sangeh buka setiap hari pada pukul 07.30-17.00 WITa dan dapat dicapai sekitar 30 menit hingga satu jam perjalanan mobil dari Denpasar.

Sangeh adalah hutan, dan sejinak apa pun monyet disana adalah binatang liar sehingga pengunjung diharap untuk mempersiapkan diri pada segala kemungkinan.

Pengunjung disarankan masuk bersama petugas dan membeli kacang di pintu gerbang. Petugas akan memberi mereka makan sehingga bisa diajak berfoto bersama.

Barang yang berkilau seperti kacamata hitam dan telepon genggam dapat memprovokasi monyet untuk berusaha mengambilnya secara paksa dari pengunjung.

Meski pun jinak, terdapat pula monyet yang nakal, memeriksa bekal para pengunjung dengan cara menarik baju hingga menyibak rok yang dikenakan para turis sehingga lebih disarankan untuk memakai celana panjang bagi pengunjung perempuan.

Siapa pun bisa berkunjung ke Hutan Bukit Sari, Sangeh kecuali perempuan yang sedang haid dan mereka yang sedang berkabung .

seven wonders of Bali di antaranya Sangeh atau monkey forest

BATUR

Belum lama ini Gunung Batur telah dikukuhkan menjadi Taman Bumi (geopark) oleh Unesco lantaran warisan geologis yang dimiliki kawasan  wisata di Kintamani, Kabupaten Bangli ini yang sangat kaya. Dapat dicapai sekitar dua jam bermobil dari Denpasar, atau sekitar satu jam dari Besakih, suguhan utama kawasan wisata ini terdiri dari dua sejoli danau dan gunung Batur. Menikmati  pagi dari dusun Penelokan, berarti tempat untuk melihat-lihat, wisawatan mendapatkan paduan pemandangan spektakuler Gunung Batur dengan kawah, kaldera dan danau Batur yang mirip bulan sabit biru di depan mata. Layaknya kawasan pegunungan, pagi adalah saat terbaik untuk menikmati keindahan pemandangan lantaran kabut akan segera muncul setelahnya. Danau Batur merupakan danau terbesar di Bali dan menjadi sumber irigasi persawahan yang menghijau di Bangli.

Tak jauh dari bibir kaldera pengunjung bisa mengunjungi Pura Ulun Danau Batur yang berada di lembah Gunung Batur. Pura yang direnovasi pada tahun 1926 setelah terjadi letusan yang cukup besar dan meluluh lantakkan sebagian caldera di sana. Keganasan gunung berapi aktif yang telah meletus 24 kali tersebut  bisa dilihat pada Museum Gunungapi Batur (Batur Museum) di Penelokan yang buka setiap hari Senin hingga Jumat mulai pukul 10 pagi.

Gunung Batur juga salah satu tujuan favorit wisatawan yang gemar mendaki gunung. Dengan ketinggian sekitar 1,7 km, puncak Gunung Batur dapat dicapai rata-rata dalam dua jam pendakian. Pendaki biasanya mengincar sunset di puncak gunung, namun banyak juga yang berangkat pada pagi hari. Jika waktu kunjung hanya sebentar dan enggan berlama-lama di tepi danau yang penuh oleh para pedagang suvenir, wisatawan dapat bersantai pada sejumlah restoran di sekitar Panelokan, misalnya di Puri Sanjaya dan restoran Apung Kedisan yang mengapung di atas danau Batur.

Kawasan Gunung Batur, dan Kintamani pada umumnya, adalah daerah pegunungan yang sangat sejuk, sangat disarankan membawa baju hangat terutama pada malam hari.

Kawasan ramai di Penelokan menjadi pusat para pedagang suvenir, beberapa diantaranya anak usia sekolah dan ibu-ibu yang cukup telaten dalam merayu calon pembeli sehingga malah membuat kenyamanan pengunjung terganggu.

Jika hendak mendaki Gunung Batur, disarankan untuk memakai baju hangat karena hembusan angin yang kuat, dan sepatu olahraga dengan sol yang cukup tebal karena jalur pendakian cukup terjal dengan banyaknya batu gunung yang tajam  dan bisa merobek sol sepatu.

Untuk mendaki Gunung Batur sangat disarankan dengan menggunakan jasa pemandu demi alasan keamanan. Seluruh pemandu terdaftar pada Association of Mount Batur Trekking Guides yang membuka perwakilan di desa Toyo Bungkah Telp. 0366 52362.  Seorang pemandu mengawal  paling banyak empat orang pendaki dalam satu kali perjalanan. Selain biaya resmi yang ditetapkan, pendaki diharap memberikan tip bagi pemandu.

TRUNYAN

Danau Batur di kabupaten Bangli menjadi gerbang untuk memasuki kawasan yang sangat unik, Desa Bali Aga di Trunyan. Penduduk Desa Bali Aga adalah suku bangsa Bali pegunungan dan kerap disebut sebagai penduduk Bali asli dan memiliki kelaziman yang berbeda dengan penduduk Bali pada umumnya. Di desa ini ada tradisi untuk tidak memakamkan orang yang telah meninggal melainkan cukup menyemanyamkan jenazahnya di bawah pohon di udara terbuka, tanpa meninggalkan bau. Di desa yang mendapatkan namanya dari kata Taru (kayu) dan Menyan (wangi) ini memang terdapat pepohonan taru menyan yang memiliki aroma wangi semerbak. Pohon ini dianggap bisa menetralisir timbulnya bau dari jenazah yang diletakkan di bawah kerindangannya. Tradisi menyemayamkan jenazah di bawah pohon tersebut dilakukan secara turun temurun hingga kini.

Satu-satunya jalan untuk mencapai desa Trunyan adalah melalui Danau Batur, tepatnya di desa Kedisan di mana terdapat perahu yang bisa membawa pengunjung untuk menyeberang.  Waktu untuk  menyeberangi Danau Batur ke desa Trunyan sekitar 20 menit.Jalan lain menuju Trunyan nyaris tidak ada karena desa ini berada di pinggir danau Batur dan dikelilingi perbukitan yang curam. Selain melihat tata cara pemakaman yang unik, Trunyan juga menarik untuk menikmati Gunung Batur dari sisi timur danau Batur karena sangat berbeda dengan pemandangan dari arah sebaliknya.

*****

Menikmati Pulau Bintan Dalam 2 Hari

Menikmati pulau Bintan di Kepulauan Riau sejatinya disarankan seorang teman setidaknya dalam tiga hari. Selain banyaknya wisata alam yang sangat layak dikunjungi, pulau ini juga memiliki sejumlah istiadat dan tradisi yang menarik. Juga kulinarinya.

Menikmati Pulau Bintan

Apa boleh buat, dalam kunjungan kali ini waktu yang tersedia hanya dua hari untuk mengitari seluruh Bintan. Tentu, sebisa mungkin. Itu pun di di hari pertama perjalanan sudah diganggu hujan. Rintik hujan sudah turun saat kaki baru menjejak di Bandara Raja Haji Ali Fisabilillah, Tanjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau. Untunglah, selepas tengah hari, matahari mulai muncul.

Dengan waktu kunjung yang sempit, sambil menunggu hujan reda, pilihan pertama menikmati Bintan kemudian adalah menjajal kuliner. Pilihannya ada di Tanjung Lanjut—restoran ikan laut di tepi sungai yang dihiasi gerombolan pohon bakau. Gonggong rebus, jenis siput laut yang menjadi ikon Tanjung Pinang, menjadi pilihan utama. Rasanya unik, mirip cumi-cumi.

Ketika hujan tak lagi mengganggu, perjalanan mengitari pulau dimulai. Tujuan pertama adalah wihara di Tanjung Uban, yang bisa dicapai dalam waktu sekitar 15 menit dari pusat kota. Tiba di Batu 14, istilah masyarakat setempat untuk menunjukkan jarak, semburat cahaya kuning keemasan menyinari jejeran patung Buddha dan Dewi Kwan In, yang mengapit kiri-kanan pelataran Vihara Avalokitesvara—salah satu wihara terbesar di Asia Tenggara.

Menikmati pulau Bintan salah satunya adalah wisata religi ke sejumlah vihara, juga ke Masjid besar.
Patung Buddha Tidur di Tanjung Uban, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Foto: Dok. shutterstock

Perjalanan menyusuri jalanan aspal mulus di perbukitan menuju Senggarang, desa di pinggir pantai yang menjadi tempat awal kedatangan orang Tionghoa di Tanjung Pinang pada 1777-1784. Banyak kelenteng tua yang menarik untuk dikunjungi. Kerukunan beragama begitu terasa kental. Orang Melayu dan keturunan Tionghoa guyub berbaur. Sekolah Islam berdekatan dengan kelenteng.

Ada kelenteng tua yang unik karena ditutupi akar pohon. Agak susah mencari tahu nama kelenteng itu, warga sekitar malah menggelengkan kepala saat ditanya. Menurut literatur, namanya Kelenteng Tien Shang Miao.

Beberapa ratus meter dari sana, ada wihara yang dibangun pada 1790-an. Pintu gerbangnya dipulas merah. Kompleks Vihara Dharma Sasana itu tidak seluas Vihara Avalokitesvara Graha, tapi suasananya lebih tenang dan teduh karena terdapat pepohonan. Wihara ini terkenal dengan patung Dewi Kwan Im Seribu Tangan, selain patung naga, Buddha, dan beberapa dewa berwujud binatang.

Masih ada sejumlah kelenteng tua yang menarik di sini, tapi mengingat keterbatasan waktu, perjalanan dilanjutkan ke Vihara Ksitigarbha Bodhisattva. Viahara ini terkenal dengan 1.000 patung Buddha. Perjalanan dilakukan menuju bukit.

Di batu 13, Jalan Kijang, mobil yang kami tumpangi berbelok menuju bukit. Di puncak bukit, terlihat gerbang dengan empat tiang batu yang dililit ukiran naga, empat patung singa bersisik ikan di bagian atas, dan dua patung penjaga berparas garang memegang golok. Gapuranya dibikin mirip dengan tembok raksasa Cina. Di balik gapura itulah ditemukan Seribu Buddha.

Patung-patung Buddha berkepala plontos berjejer rapi dengan awan sebagai latar belakang. Patung-patung itu memiliki ukuran seragam, tetapi ekspresinya berbeda-beda, mengingatkan saya pada tentara Terakota di Cina. Semua patung tersebut dibuat oleh perajin Cina dan dikirim dengan kapal. Di bangunan lainnya, ada sebuah patung Buddha keemasan.

menikmati pulau Bintan tak lengkap tanpa mengunjungi Pulau Penyengat.
Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, Bintan. Foto: Dok. shuterstock

Ada satu lagi obyek wisata religi dengan suasana berbeda yang akan perlu dikunjungi, yakni Pulau Penyengat. Di pulau ini terdapat masjid dan makam para pembesar Kerajaan Riau Lingga. Berjarak 3 kilometer dari Tanjung Pinang, pulau ini bisa dicapai menggunakan perahu pompong hanya dalam 15 menit.

Di Penyengat, pengunjung bisa berjalan kaki jika cukup punya waktu dan tenaga, jika tidak bisa menyewa bemot atau becak motor untuk mengelilingi pulau berukuran sekira 2.500 x 750 meter ini. Di kampung yang bersih ini, dengan jalan berupa paving block, alat transportasi yang digunakan hanya sepeda motor dan sepeda kayuh.

Menurut sejarah, pulau ini merupakan mas kawin yang diberikan Sultan Mahmud kepada Engku Putri Raja Hamidah—anak Raja Haji Fisabilillah, yang juga dimakamkan di sini. Selain itu, ada makam Raja Haji Ali, pujangga yang membuat Gurindam Dua Belas, yang syairnya dituliskan di dinding makam Engku Putri. Peninggalan Kesultanan Riau lainnya adalah Istana Kantor—istana sekaligus kantor Raja Ali, Gedung Mesiu, benteng pertahanan, dan Balai Adat. Saya sempat membasuh muka dengan air sumur petak di bawah Balai Adat, yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.

Ada pula Masjid Raya Sultan Riau, yang konon untuk membangunnya menggunakan adonan putih telur. Tak ada yang memastikan hal itu. Dibangun pada 1832 atas prakarsa Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdurrahman, masjid ini mempunyai empat menara dengan dua bangunan tambahan di kedua sisi. Masjid didominasi warna kuning.

Menikmati pulau Bintan salah satunya adalah mengunjungi pantai-pantainya yang indah.
Pantai Trikora di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Foto: Dok. shutterstock

Pukul dua siang, matahari berada di puncaknya. Saatnya mulai menikmati alam Bintan. Perjalanan dimulai dengan menikmati keindahan pantai di Tanjung Pinang. Banyak pilihan pantai berpasir putih di sini, misalnya di kawasan Lagoi, yang banyak diburu wisatawan Singapura. Tapi karena waktu yang sempit, pilihan jatuh ke Pantai Trikora, yang memiliki garis pantai sampai 25 kilometer. Pantai Trikora merupakan pantai terpanjang di Kepulauan Riau. Berada di wilayah Kabupaten Bintan, pantai ini berjarak 60 kilometer, sekitar satu jam berkendara, dari Tanjung Pinang.

Melintasi jalan nan mulus, Pantai Trikora di sisi kanan jalan. Pohon kelapa menghias kiri-kanan jalan. Batu-batu hitam sebesar rumah sesekali terlihat di ladang kelapa. Agak susah menemukan spot bagus di pantai publik karena lokasi indah rata-rata dikuasai resor. Atas dasar itu, akhirnya pilihannya memang mencoba masuk ke resor. Pilihannya adalah Bintan Cabana Beach Resort, yang memiliki pantai jernih dihiasi bebatuan besar. Beberapa pengunjung hotel asik berenang dan melompat di antara bebatuan.

Matahari mulai meredupkan cahayanya, waktunya menikmati kuliner khas Tanjung Pinang, yang terkenal dengan hidangan Melayu dan Cina. Pilihannya jatuh ke Akau Potong Lembu, salah satu sentra kuliner yang wajib dikunjungi di Bintan. Berada di kawasan pecinan, dekat dengan Pelabuhan Sri Bintan Pura, sentra kuliner ini buka dari sore hingga tengah malam. Soal harga, rasanya  terjangkau, sehingga tidak perlu merogoh saku terlalu dalam. Karena suasananya yang asyik, tak terasa sudah hampir tengah malam.

Rully K./TL/agendaIndonesia

*****

Gerabah Plered, Dibakar Api 1000 Derajat

Gerabah Plered memiliki jejak sejak zaman Neolitikum. Foto: Disparbud Jabar

Gerabah Plered dikenal banyak orang bahkan hingga manca negara. Tempat ini memang dikenal sebagai sentra kerajinan gerabah dan keramik tradisional. Bahkan, konon, jejaknya sudah ada sejak zaman neolitikum. Betulkah begitu?

Gerabah Plered

Mungkin banyak yang belum tahu sejarah panjang dari kerajinan Plered ini, yang merupakan sebuah kecamatan di daerah Purwakarta, Jawa Barat. Kawasan dengan jumlah penduduk lebih dari 54 ribu jiwa ini dulunya merupakan perkebunan kopi dalam politik tanam paksa pemerintah kolonial Belanda.

Kala itu, hasil perkebunan daerah tersebut dibawa ke Bandung untuk dikirim ke Tanjung Priok via sungai Citarum. Untuk membawa hasil perkebunan, digunakanlah pedati yang oleh warga setempat menyebutnya ‘palered’. Diyakini inilah asal-usul nama daerah ini.

Selain itu, tempat ini sudah memiliki budaya membuat gerabah dan keramik dari sejak zaman Neolitikum. Pada saat itu, di area tersebut ditemukan artefak seperti kapak persegi, periuk, dan lain-lainnya beserta alat untuk membuatnya.

Gerabah Plered mencapai masa kejayaannya sejak 1990-an.
Tempat pembakaran gerabah Plered, Purwakarta. Foto: Dok. Disparbud Jawa Barat

Dari situ, teknik kerajinan gerabah dan keramik diturunkan dari generasi ke generasi. Meski tak banyak yang tahu secara pasti bagaimana budaya ini berkembang dan diwariskan, tetapi sebuah desa di kawasan Plered bernama desa Anjun disebut sebagai tempat kerajinan ini pertama kali muncul.

Memang pada saat itu kerajinan ini belum populer di kalangan warga. Tapi pada sekitar 1790-an beberapa warga sudah terlihat memiliki lio atau alat pembakaran tanah liat yang digunakan untuk berkerajinan. Bahkan atap rumah di sekitar tempat itu sudah tidak lagi menggunakan ijuk, alang-alang atau daun kelapa, tapi menggunakan genteng.

Barulah pada sekitar era awal 1900-an kerajinan ini mulai lebih diperhatikan. Terdapat sebuah gedung yang difungsikan sebagai pabrik untuk membuat gerabah dan keramik. Lambat laun, warga mulai berbondong-bondong ikut bekerja di situ.

Sejak 1935, usaha ini berkembang menjadi industri rumah tangga. Ada juga perusahaan dari Belanda yang mendirikan pabrik serupa, dengan nama Hendrik de Boa. Image kerajinan gerabah dan keramik pun semakin lekat dengan warga Plered.

Industri ini sempat mengalami kemunduran pada masa pendudukan Jepang dan gerakan perjuangan menuju kemerdekaan. Banyak warga yang turut berperang, atau harus bekerja romusha. Praktis, kegiatan produksi gerabah dan keramik bisa dibilang terhenti.

Tetapi setelah penyerahan kedaulatan Indonesia pada 1949, industri ini perlahan berangsur pulih. Kegiatan usaha kerajinan ini malah kemudian menjadi salah satu mata pencaharian utama warga setempat.

Pada 1950, Wakil Presiden Mohammad Hatta meresmikan pabrik tersebut dengan nama Induk Keramik. Fungsinya untuk memproduksi dan mengurusi hal-hal seperti bahan baku, permodalan dan desain. Warga juga bisa datang untuk belajar menjadi perajin.

Selain itu, dikirimkan juga mesin-mesin penghalus tanah liat buatan Jerman untuk menunjang produksi. Hasilnya, secara kuantitas dan kualitas industri gerabah dan keramik Plered mulai berkembang pesat, bahkan mulai mampu mengekspor produk-produknya.

Dalam perjalanannya, industri ini sempat mencatat beberapa pencapaian. Seperti misalnya pembuatan gentong besar setinggi 170 cm dan berdiameter 150 cm dalam rangka perhelatan Game of the New Emerging Force (Ganefo).

Tak hanya itu, mereka juga turut berpartisipasi dalam pembangunan masjid Istiqlal. Bagian badan utama dan menaranya terbuat dari batu bata merah hasil produksi Induk Keramik. Konon, tanah liat dari Plered bersifat lebih padat dan lengket, sehingga lebih kuat digunakan untuk bangunan.

Meski demikian, industri ini juga sempat mengalami kemunduran kala Induk Keramik mengalami kebangkrutan. Masa-masa pada tahun 1960 hingga 1970-an bisa dikatakan merupakan masa yang cukup sulit bagi mereka.

Gerabah Plered berinovasi dengan dibakar hanya satu kali kemudian digosok dan divernis.
Salah satu sentra porduksi gerabah dan keramik Plered. Foto: DOk. Disparbud Jawa Barat

Kemudian pada era 1980-an, industri ini mulai mencoba berinovasi. Gerabah dan keramik yang tadinya diproses dalam pembakaran sebanyak dua kali, kini hanya dilakukan sekali. Setelahnya, produk digosok, dicat dan dipernis agar terlihat lebih bagus. Lahirlah gerabah Plered era baru.

Ternyata, inovasi ini membuahkan hasil. Kuantitas dan kualitas produksi kembali meningkat, bahkan permintaan dari luar negeri pun mulai melonjak kembali. Akhirnya, sejak 1990-an industri ini kembali menemukan masa jayanya.

Dewasa ini, industri kerajinan tersebut masih terhitung cukup produktif dan laris di pasaran. Kendati sempat dihantam situasi tertentu yang menyebabkan permintaan turun seperti pandemi COVID-19, mereka tidak lagi mengalami kesulitan seperti di masa lalu.

Hanya saja, justru kini mereka terkadang sulit memenuhi permintaan konsumen yang cukup deras. Alasannya, kurangnya regenerasi perajin keramik dan gerabah Plered. Ini karena anak-anak muda di sana lebih memilih menjadi buruh pabrik atau kuli bangunan dengan gaji lebih besar ketimbang menjadi perajin.

Pemerintah setempat lantas mendirikan UPTD Litbang (Unit Pelaksana Teknis Dinas Penelitian dan Pengembangan) Sentra Keramik Plered. Ini merupakan satu-satunya bagi industri kerajinan keramik dan gerabah di Indonesia.

Tujuan dari UPTD Litbang utamanya untuk meriset jenis keramik dan gerabah yang diproduksi, sehingga dapat membantu proses pengembangan produk dan pemasarannya. Selain itu, mereka juga menjadi sarana edukasi baik bagi pengrajin baru maupun bagi wisatawan yang tertarik untuk belajar.

Diharapkan, para perajin gerabah Plered yang sudah eksis bisa terus berkarya dan berinovasi agar produknya terus digemari oleh konsumen. Selain itu, generasi muda juga didorong untuk mau melestarikan budaya kerajinan ini.

Jika ingin mampir, di sepanjang jalan raya Anjun hingga mengarah ke Pasar Plered lama banyak berjejer pusat produksi serta toko gerabah dan keramik. Dari catatan UPTD Litbang, setidaknya saat ini terdapat 221 pusat produksi gerabah dan keramik di Plered.

Jenis barang yang tersedia pun beragam. Umumnya, yang paling laris adalah pot dan vas bunga. Selain pasar domestik, pot dan vas bunga buatan mereka juga diekspor ke negara-negara di benua Asia, Eropa dan Amerika.

Selain barang tersebut, pengunjung juga bisa menemukan barang lain seperti cangkir, piring, celengan, kendi, dan lain-lain. Harganya beragam; ada yang berukuran kecil dengan motif sederhana dengan harga sekitar Rp 5 ribu hingga 8 ribu, tetapi yang berukuran besar dengan motif lebih rumit bisa ditemukan dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Sebagai catatan, gerabah dan keramik dibedakan dari bahan baku, proses pembuatan serta hasil akhirnya. Gerabah merupakan tanah liat murni yang dibakar dalam suhu di bawah 1000 derajat Celsius, dan baru dicat setelah jadi. Biasanya hasilnya cenderung bertekstur lebih kasar.

Sedangkan keramik adalah tanah liat dengan bahan campuran tertentu yang dibakar dalam suhu lebih dari 1000 derajat Celsius, dan sudah dicat sebelum dibakar. Hasilnya, produk lebih punya tekstur yang halus. Harganya pun relatif lebih mahal.

Kalau ingin belajar lebih lanjut tentang sejarah serta detail mengenai industri kerajinan gerabah dan keramik Plered, bisa mengunjungi Museum Keramik Plered. Atau bisa juga mengunjungi UPTD Litbang Sentra Keramik Plered bagi yang ingin belajar dan merasakan pengalaman membuat kerajinan gerabah dan keramik tradisional khas Plered.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****