8 Suguhan Laut Sulawesi di Jakarta

Makan bareng saat diet perlu memberhatikan tiga hal ini. Foto: Fran TL

8 suguhan laut Sulawesi bisa dinikmati di Jakarta. Semua bahan utama didatangkan dari Celebes atau Sulawesi. Dan kerinduan menikmati kuliner khas Sulawesi pun terobati.

8 Suguhan Laut Sulawesi

Segelas jus dari sirop markisa mendarat di meja kayu. Warnanya jingga cerah, serona layung yang melungsur di balik bangunan-bangunan jangkung di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Bila diaduk, di bagian atasnya mengapung buih-buih putih alami, membentuk gradasi warna yang cukup membuat mata kepincut. “Sirop ini asli Makassar dan dibuat secara manual, dari buah asli, bukan sari,” tutur salah seorang pramusaji Restoran Sulawesi, memecah konsentrasi.

Di Sulawesi@Mega Kuningan, rumah makan premium yang baru buka pada Juni 2016—hasil ekspansi dari Restoran Sulawesi—hampir semua bahan utama yang mereka olah didatangkan langsung dari pulau berjuluk Celebes. Pemiliknya, Darmawan Halim dan keluarga, ingin membumikan kenikmatan penganan khas Sulawesi, khususnya Makassar, di kota-kota urban, layaknya Jakarta.

Tak heran kalau sirop markisa, yang sejatinya bisa ditemukan di mana pun, harus didatangkan langsung dari daerah asalnya. “Karena rasanya pasti berbeda. Yang dibeli langsung di Makassar punya cita rasa lebih segar dan orisinal,” ujar Diah, karyawan di resto ini. Memang lidah tak bisa menepis. Rasa markisa yang meluncur ke dalam mulut punya karakter kuat. Manisnya alami dan tak bikin tenggorokan sakit.

Segelas minuman autentik ini baru jadi pembuka untuk rentetan menu khas Sulawesi yang bakal dipesan selanjutnya. Pelayan yang ramah merekomendasikan beberapa kudapan andalan, yang juga umum digemari pengunjung. “Biasanya, tamu memilih seafood,” kata salah satu pramusaji.

Memang jagoan piring di sini adalah para penghuni laut. Ada beragam jenis ikan yang disajikan, seperti sukang, kaneke, baronang, katamba, kudu-kudu, papakulu, gelama, sunu, dan leccukan. Kedengarannya asing karena jenis itu umumnya hanya ditemukan di perairan timur Indonesia.

Sebagai awalan, keneke bakar tradisional menjadi pilihan. Ikan yang disajikan kala itu berukuran lebih-kurang 1,3 kilogram. Cukup disantap ramai-ramai sekitar lima orang. Cara pembakaran yang menggunakan arang batok membikin aroma ikan makin mencagun, menggelitik nafsu untuk segera melibasnya. Tekstur dagingnya tak rusak karena waktu pembakarannya pas.

Ikan ini nikmat disantap dengan tiga sambal khas yang ditata di sebelahnya, yaitu dabu-dabu, mangga camangi, dan petis. Meski judulnya sambal, rasa pedasnya tak terlalu mencuat dan tidak merusak rasa asli ikan.

Menu selanjutnya sukang rica. Ikan itu cukup berdaging dan tak banyak duri. “Memang makan di sini tak perlu ripuh memilah daging dengan duri,” ucap pramusaji tadi lagi. Selain gampang menyantapnya, bumbu khas yang disiram di atas ikan membikin lidah tak berhenti bergoyang. Ada dua bumbu yang bisa dipilih, yakni rica (pedas) dan parepe (manis).

Bumbu manis dibikin dari bawang putih, gula aren, dan bumbu rahasia lain. Meski bawang terlihat mendominasi, aromanya tak mencolok dan tidak membuat mulut bau. Selain berfungsi sebagai penyelaras, keberadaannya berjasa memperkaya tekstur dengan serat yang ditimbulkan dari tumbukan kasar. Sedangkan bumbu pedas dikhususkan bagi pecinta sambal. Cabai yang digunakan berjenis rawit. Aroma dan warnanya segar serta menggugah selera makan.

Bila sukang dan keneke cocok diolah dengan bumbu khas Makassar, kudu-kudu tak demikian. Ikan jenis ini lebih nikmat dimakan dengan ramuan populer, layaknya goreng asam manis. Sebab, ketika sedang menyantapnya, bukan bumbu yang dinikmati, tapi teksturnya yang unik. Dagingnya kenyal dan lentur. Cara membunuhnya juga harus dengan teknik tertentu supaya tidak muncul aroma anyir. Misalnya, menusuk ujung kepala ikan dengan besi khusus hingga terkena bagian sarafnya.

Waktu menyantap jenis ikan-ikanan pun selesai. Selanjutnya, sebagai teman menikmati langit meredup, menyaksikan lampu Ibu Kota yang mulai berpendar, dan mengintip para raja jalanan menyemut di sepanjang jalur Prof Dr Satrio, yang tampak dari jendela restoran yang bertengger di lantai dua Menara BTPN Mega Kuningan, kepiting woku lantas menjadi pilihan.

Woku merupakan bumbu khas Manado. Rasa dan aromanya cukup tebal karena dipadukan dengan rempah-rempah beraneka ragam. Untuk yang tak biasa, mereka bakal merasa enek setelah menyantapnya. Namun yang disajikan di sini lain dari biasanya. Ahli masak mengontrol jumlah rempah-rempah sehingga tak ada yang berlebihan dan tidak terasa ada salah satu bahan yang mendominasi.

Meski perut sudah penuh, keinginan mengeksplorasi menu masih menjadi-jadi. Udang bakar bumbu tradisional dan menu-menu berkuah pun dipilih. Di antaranya udang sitto xl tradisional, sop pallu basa (yang serasi dinikmati bareng buras), dan mi titi. Ditambah lagi dengan nasi goreng merah seafood dengan cita rasa istimewa.

Yang spesial dari sup pallu basa adalah kuahnya yang berpadu dengan kelapa parut ditambah pala, rempah-rempah, dan bumbu istimewa sehingga memunculkan wewangian khas yang selalu dijumpai pada masakan Nusantara. Sedangkan sunu kuah asam menjadi favorit lantaran ikan yang digunakan masih segar. Irisan tomat dan cabai menguatkan aroma kaldu, apalagi ketika kuah masih mengepul.

Keenakan mengecap satu per satu para penghuni laut yang sudah tak berdaya di piring bidang, larut ternyata makin luruh. Alunan jazz Ain’t No Sunshine versi saksofon lantas membikin mata sedikit-sedikit mulai mengatup. Saat seperti ini lebih asyik dimanfaatkan untuk menikmati suasana malam Jakarta yang bisa diintip jelas dari dalam restoran. Di sisi lain, para tamu lain masih sibuk memburu kenikmatan. Bangku-bangku berkapasitas 150 orang malam itu tampak penuh. Sehari-harinya pun begitu.

F. Rosana/Frann/Dok TL

*****

Tana Toraja dan Keajaiban 400 Tahun Ke’te kesu

Tana Toraja

Tana Toraja di Sulawesi Selatan adalah daerah dengan kekayaan adat budaya yang luar biasa. Ia adalah salah satu keajaiban yang dimiliki Indonesia dari rangkaian Sabang sampai Merauke. Toraja adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi di negeri ini.

Tana Toraja dan Keajaibannya

Dari Makassar, jika tak membawa kendaraan sendiri, ada bus-bus antarkota yang berangkat hampir sepanjang hari. Sejak pukul 9 pagi, hingga jam 9 malam. Waktu tempuh untuk jarak sekitar 320-an kilometer dibutuhkan sekitar 8 jaman. Harga tiket bus yang berangkat pagi biasanya lebih murah jika dibandingkan yang berangkat malam. Masing-masing dengan kelebihannya.

Untuk menuju Tana Toraja bagi tentu saja kita harus menuju Makassar terlebih dahulu. Tentu, bagi mereka yang tinggal di Palu, Sulawesi Tengah, ada jalur darat yang tak perlu harus ke ibukota Sulawesi Selatan itu dulu. 

Jika memilih berangkat pagi, wisatawan bisa menikmati keindahan kota-kota yang dilintasi. Juga pemandangan alam yang mempesona. Biasanya sampai di Toraja wisatawan akan langsung tidur terlebih dahulu sebelum keesokannya menikmati ragam budaya tempat itu. Sementara itu, jika memilih perjalanan malam hari, praktis sepanjang perjalanan akan dipakai untuk tidur.

Sesungguhnya ada penerbangan dari Makassar menuju Tana Toraja. Dari Bandara Hasanuddin mendarat di Bandara Pongtiku yang terletak di Rantepao, sekitar 10 kilometer dari kota Makale. Hanya saja, hingga saat ini, jadwal penerbangannya belum setiap hari. Umumnya Selasa dan Jumat. Itu pun hanya satu penerbangan per hari.

Tana Toraja lazimnya ramai dikunjungi wisatawan antara Juni-Desember. Pada masa itu ada ritual Rambu Solo’, yakni ritual penghormatan bagi mereka yang sudah meninggal diselenggarakan di Desa Ke’te Kesu. Ini merupakan desa tradisional kuno unik yang tersembunyi di wilayah pegunungan TanaToraja, Sulawesi Selatan. Ia terletak di tengah hamparan sawah luas dan merupakan desa tertua di Kecamatan Sanggalangi.

Usia Desa Ke’te kesu diperkirakan sudah mencapai 400 tahun. Uniknya, ia tidak pernah mengalami perubahan sejak pertama kali berdiri. Jika melihat keadaannya saat ini, bisa dibilang desa ini menjadi semacam museum hidup. Orang yang mengunjunginya dapat secara langsung melihat budaya dan tradisi unik dari masyarakat Toraja.

AgendaIndonesia beruntung pernah berkunjung ke TanaToraja. Desa Ke’te Kesu biasanya menerima penghunjung mulai pukul 8 pagi. Ada retribusi masuk yang dikenakan bagi wisatawan lokal sebesar Rp 10 ribu dan dua kali lipat untuk turis asing. Bagi peminat arsitektur permukiman tradisional Indonesia, Ke’te Kesu akan membuat betah. Detail-detail rumah adat Toraja, yang biasa disebut tongkonan, yang berusia ratusan tahun dapat dinikmati detail dan filosofinya, seraya berbincang dengan masyarakat setempat.

Selain tongkonan, di Ke’te Kesu pengunjung dapat melihat beberapa makam adat meski tidak semuanya. Beberapa peti mati tua berbahan kayu atau disebut erong dengan berbagai bentuk segera menyita perhatian di sisi kanan tangga naik.

Selain mengunjungi Ke’te Kesu, masih terkait dengan ritual penghormatan kepada arwah, kita juga bisa mengunjungi Desa Bori, Kecamatan Sesean. Di sini terdapat Rante, yakni lapangan tempat upacara pemakaman untuk kaum bangsawan tertua di Tana Toraja. Lokasinya berjarak sekitar lima kilometer arah utara Rantepao. Mata dipuaskan dengan hamparan batuan menhir tegak yang disusun dan dibentuk sedemikian rupa setiap kali ada jenasah dimakamkan. 

Di Bori Kalimbuang, wisatawan bisa melihat 102 menhir yang berasal dari era megalitikum. Batu menhir ini dipasang berdiri tegak sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang. Sebanyak 54 menhir kecil, 24 berukuran sedang, dan 24 lain berukuran lebih tinggi daripada manusia tersebar di Bori Kalimbuang. Tempat ini diperkirakan telah ada sejak 1718, di mana menhir pertama didirikan pada 1657.

Perjalanan ke TanaToraja yang tak kalah penting adalah Lo’ko’ Mata di lereng Gunung Sesean, di ketinggian 1.400 mdpl, di sisian perlintasan Lembang Tonga Riu, berjarak sekitar 30 kilometer dari Rantepao. Bentuknya yang bundar mirip kepala manusia yang menyebabkan dinamai Lo’ko’ Mata. Batu kubur alam berdiameter sekitar 20 meter yang digunakan sebagai makam tersebut lebih dikenal sebagai Dassi Dewata atau Burung Dewa. Sebab, liang-liang yang ada di sana sering ditempati berbagai jenis burung dengan bulu warna-warni dan suara khas. Hingga saat ini, di area seluas kurang-lebih satu hektare itu sudah ada sekitar 60 liang.

Di Lo’ko’ Mata kita bisa memutari sudut-sudut seutuhan batu dan memperhatikan beberapa tau-tau, yakni patung kayu yang mewakili orang yang dimakamkan, serta ornamen-ornamen pada pintu liang dan tongkonan-tongkonan mini yang menarik perhatian.

Kunjungan selanjutnya adalah Londa. Berbeda ketika ke Ke’te Kesu, Londa seperti lemari arsip kisah  Toraja yang lain lagi. Ada dua gua di sini. Di gua pertama sebaran erong serta serakan tulang dan tengkorak berpadu dengan kegelapan. Gua kedua lebih dalam, sekitar 1,5 kilometer, di mana di pintu masuknya dihiasi satu erong berhiaskan pa’ barre allo (ukiran matahari bulat utuh) di kanan-kiri. Balkonnya ramai dengan tau-tau pelbagai usia.

tana Toraja dengan Patung Yesusnya

Setelah kunjungan ke tempat-tempat perziarahan kuno, sejak 2015 TanaToraja juga memiliki tempat perziarahan baru yang gigantik. Ini khususnya bagi umat kristiani. Di sana juga ada patung Yesus Buntu Burake yang konon disebut tertinggi di dunia.

Patung Yesus Memberkati ini berada di atas puncak bukit Buntu Burake yang berketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Tinggi badannya diperkirakan sekitar 45 meter dan dibuat dari perunggu. Patung ini yang dibangun pada Mei 2015 dan memakan biaya sekitar Rp 22 miliar.

Jadi, pernah mengunjungi TanaToraja? Ayo agendakan Indonesia-mu.

*****

Pantai Lingal, 1 Keindahan Dari Alor

Pantai LingAl Alor

Pantai Lingal atau Ling’Al di Alor semakin dikenal banyak penggila pantai dengan pasir putih. Sebelum 2018-an, pantai di Nusa Tenggara Timur ini seolah tenggelam dari kebesaran nama pulau Rinca,  Labuan Bajo, juga Sumba. Padahal, banyak orang menyebut pantai ini sebagai salah satu pantai terindah di provinsi ini.

Pantai Lingal Alor

Labuan Bajo dan Sumba sudah banyak dikenal dan dikunjungi para wisatawan. Baik lokal maupun mancanegara. Namun, ada pulau di ujung timur NTT, tepatnya di Kabupaten Alor, yang juga menawarkan banyak keindahan alam, terutama lautnya. Selain itu kita juga bisa menikmati wisata budaya dan sejarah di sana.


Kabupaten yang memiliki luas 2.864,6 kilometer persegi ini hanya dapat diakses melalui jalur udara dan laut. Begitupun, transportasi menuju Alor masih terbilang cukup mudah, karena ada penerbangan setiap hari dan kapal laut yang juga hampir setiap hari. Untuk ke sana, kita harus melalui ibukota NTT, Kupang.

Kepulauan di Alor terdiri dari dua pulau besar, Alor dan Pantar, yang mengapit gugusan pulau-pulau kecil di kawasan Selat Kumbang. Selat ini terletak di Desa Alor kecil dan Pulau Kepa. Ada beberapa pulau yang dijejaki di kabupaten yang terdiri atas beberapa pulau ini.

Ada beberapa rute yang bisa dijalani untuk menuju pantai Lingal. Pertama jalan darat dari kota Kalabahi, ibukota kabupaten Alor. Sesungguhnya jaraknya tak terlalu, hanya sekitar 30 kilometer. Namun, karena medannya, jarak itu harus ditempuh dalam waktu 4-5 jam. Hanya saja, harus menggunakan kendaraan yang siap untuk medan berat. Pilihannya mobil dengan penggerak 4 roda.

Pilihan lainnya menggunakan jalur laut dari demaga di Kalabahi. Dengan perahu kita bisa mencapai pantai Lingal kurang lebih 3 jam perjalanan. Bisa juga mengkombinasikan darat dan laut, misalnya jika ingin menikmati pemandangan darat. Dari Kalabahi kita bisa menuju ke Desa Alor Kecil selama 2-3 jam dan menginap semalam di sana. Esoknya disambung dengan kapal menuju pantai Ling’Al selama 1,5 jam.

Pantai Lingal terletak di Desa Halerman, Alor Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Jalur yang manapun yang dipilih, pantai ini tak akan mengecewakan. Panorama pantainya tak akan mengecewakan.

Jika tak punya halangan menikmati perjalanan laut, cobalah menuju ke Ling’Al dengan perahu. Dari Alor Kecil perahu bisa disewa seharga Rp 750 ribu-850 ribu. Perahu bisa dipakai seharian. Perjalanan berperahu dua jaman pun tak terasa jauh, malahan begitu mengasyikkan. Jika berangkat pagi, cuaca tak terlalu panas, kita bisa melanjutkan tidur di perahu yang bisa diisi sekitar 10 orang itu.

Saat mendekati Pulau Pura, kadang kita akan mendapat suguhan bonus, yakni sekawanan lumba-lumba menyambut perahu yang kita tumpangi. Hewan yang tergolong terpintar di laut itu mendongakkan moncongnya ke atas permukaan laut, lalu menghilang lagi ke dalam air. Benar-benar menggoda!

Dari atraksi itu, tak lama, bibir pantai di sisi barat Pulau Alor pun sudah terlihat. Dari jauh, pesona Pantai Lingal sudah terpancar. Hanya ada pasir putih di sepanjang permukaan pantai yang melengkung itu. Kira-kira panjangnya mencapai tiga kilometer. Airnya yang jernih bergradasi ketika perahu semakin mendekat ke pantai, warna biru semakin pudar hingga benar- benar putih tepat di bibir pantai. Dulunya, pantai ini cuma menjadi persinggahan nelayan untuk berteduh sambil menjemur ikan hasil tangkapan.

Di musim tertentu, di mana ombak begitu tenang dengan bentuk bibir pantai seperti teluk, pantai ini terlihat seperti kolam super besar. Satu-dua tahun belakangan, pantai ini mulai populer dan pelancong
pun berdatangan. Para pemuda Desa Halerman mengutip Rp 50 ribu dari setiap rombongan yang datang. Menurut salah satu pemuda desa yang hanya dihuni belasan keluarga itu, pungutan mereka serahkan untuk dana kas desa.

Perbukitan hijau di sekeliling pantainya yang biru membuat pemandangan kontras Pantai Lingal ini jadi salah satu yang favorit di Pulau Alor. Pantainya sendiri berbentuk seperti teluk kecil, sehingga tidak memiliki ombak yang besar. Untuk menikmati pantai dari sisi yang berbeda, wisatawan bisa mendaki bukit dan menikmati eksotisme pantai Lingal dari ketinggian. Bukitnya tak terlalu tinggi, hanya sekitar 30-an meter dan bisa didaki sekitar 15-an menit.

pantai lingal di Alor dan Batu Bolong
Batu Bolong di Alor


Wisatawan bisa menginap di pantai ini. Warga setempat ada yang menyewakan tenda. Tapi jika tidak ingin di tenda, boleh saja menginap di rumah warga setempat.

Jika puas dengan pantai Lingal dan masih punya waktu, wisatawan bisa mengunjungi sejumlah pantai lain di sekitar pantai tersebut. Sebutlah pantai Pasir Panjang yang landai, berbatasan dengan bukit berpadang rumput. Namun, harus hati-hati jika berenang di Pantai Pasir Panjang. Meski dangkal, gelombang lautnya lumayan kencang.

Ada pulau Kepa, pulau kecil di Barat Laut Alor ini pasir pantainya halus serta lautnya yang biru dan jernih menjadi daya tarik tersendiri. Di pulau ini juga banyak disediakan pondok-pondok wisata khas NTT bagi yang mau menginap di sini. Di sekitar Kepa, banyak juga spot snorkeling maupun diving dengan keindahan alam bawah laut yang cantik.

 Pilihan lainnya adalah pantai Sebanjar, dengan pasirnya yang berwarna putih-pink dan pemandangan pulau-pulau indah di sekelilingnya ini. Bermalas-malasan di pantai pada sore hari sembari menikmati deburan ombak dan pemandangan matahari terbenam adalah sungguh hal yang tak terlupakan. Di sini juga terdapat penginapan yang cukup nyaman.

Atraksi lain di sekitar pantai Lingal adalah bati-batu karang besar di pantai Batu Lobang. Ini istilah masyarakat setempat untuk karang yang bolong. Melihat bebatuan tinggi menjulang dengan bagian bawahnya berlubang karena dihantam ombak terus-menerus.

*****

Melawat Senja di Potato Head, Best Beach Bars 2013

Melawat senja di Potato Head, Pantai Petitenget, Bali.

Melawat senja di Potato Head yang berlokasi di Pantai Petitenget, Kabupaten Badung, Bali. Tempat kongkow dan bersantap dengan desain bangunan mirip kolesium. Pengunjung bisa memilih di dalam, atau di luar ruangan untuk menikmati senja yang asyik.

Melawat Senja di Potato Head

Hal yang kadang sedikit membingungkan ketika berlibur ke Bali adalah memilih satu dari sekian banyak tempat nongkrong. Hampir setiap tempat kongkow di Pulau Dewata mempunyai keunikan tersendiri. Tetapi ada satu yang memiliki daya tarik khusus. Berlokasi di Seminyak, tempat hang-out ini membuat pelancong bisa menikmati wisata seni, panorama mentari tenggelam, dan wisata kuliner. Ya, itulah tawaran dari Potato Head Beach Club.


Terletak di Pantai Petitenget, Seminyak, Bali, tempat ini dimiliki oleh Ronald Akili dan Jason Gunawan, yang menunjuk Andra Matin sebagai arsiteknya. Konsep bangunan yang diusung serupa kolesium modern dengan aksen susunan jendela-jendela lawas dari berbagai tempat di Indonesia. Sungguh unik. Jumlah jendela tersebut juga menakjubkan banyaknya.

Melawat senja di Potato Head Bali, kemewahan kongkow di pantai Bali sembari menikmati matahari tenggalam.
Suasana di dalam Potato Head Beach Bars, Bali. Foto: Dok TL/Arcaya M.


Selain nilai seni arsitektur yang unik, beach club ini dinobatkan sebagai The Best Bars and Beach Bars in The World pada 2013 oleh majalah Condé Nast. Memang nominasi tersebut tidak berlebihan. Atmosfer yang dibangun sangat mendukung dan penataan ruang di lahan seluas 500 meter persegi ini dipikirkan dengan matang. Arena yang terletak agak jauh dari kebisingan jalan raya dan berada persis di pinggir pantai ini seperti mengajak saya memasuki daerah yang mempesona.


Sore itu, sebelum memasuki area utama Potato Head Bar, saya melewati sebuah lorong sempit yang sisi kanan-kirinya ditutupi jendela-jendela beragam warna sampai bagian atap. Setelah tiba di ujung lorong, terhampar pemandangan rumput hijau yang terlihat empuk. Debur ombak pun terdengar. Musik chill-out, kolam renang, gelegak tawa para pengunjung, dan siluetpohon kelapa lengkap dengan awan biru memukau saya.


Ada beberapa tempat yang menjadi incaran saya untuk menikmati senja sore itu. Dari kursi pantai di pinggir kolam renang, lesehan di rumput, bar dengan meja panjang, kursi empuk di area sekitar rumput, hingga bar utama. Namun untuk merasakan kursi pantai di pinggir kolam renang, pengunjung perlu merogoh kocek sekitar Rp 500 ribu. Akhirnya, saya memilih berada di bar utama.
Sebenarnya, beach club ini juga bisa menjadi tempat wisata keluarga. Sebab, ada kolam renang untuk anak-anak dan area yang cukup luas sebagai tempat bermain. Selain itu, Anda bisa memilih turun bermain ke pantai yang eksklusif untuk pengunjung Potato Head.

melawat senja di Potato Head Bali, menyeruput minuman dan mengudap makanan kecil sambil menyaksikan malam datang di pulau Dewata.
Suasana di luar ruang Potato Head Beach Bars Bali. Foto: Dok. TL/Arcaya M.


Apabila Anda ingin mencicipi wisata kuliner yang mengesankan, Potato Head juga menyediakan dua pilihan tempat, yakni Lilin dan Tapping Shoes. Untuk menikmati kuliner dengan meja panjang di tempat terbuka, Anda bisa memilih area Lilin. Menu yang disajikan kebanyakan berupa tapas alias camilan dan masakan khas Asia dengan bahan-bahan makanan dari laut. Sedangkan untuk Tapping Shoes, yang berada di lantai dua, ada sajian Eropa dengan interior yang lebih serius dan mengarah ke suasana fine dining.


Namun tidak berarti Potato Head Bar tak mempunyai makanan andalan. Hidangan yang terkenal di sini adalah Wagyu Beef Burger lengkap dengan kentang goreng, Philly Steak Sandwich, dan Tacos Prawn. Sedangkan untuk minuman cocktail, ada Potato Head Bloody Mary, Majito, Big Bang, dan Kookaburra.


Tetapi saya sedang tidak terlalu ingin bertualang mencoba minuman dan makanan karena tujuan ke sini hanya untuk menikmati senja di Pulau Dewata sembari kongkow dengan teman. Akhirnya, saya memesan Tacos Prawndan bir dingin, lalu mendarat di rumput hijau yang empuk dan segar tanpa alas. Bagi saya hal ini sudah cukup mewah. Kapan lagi saya bisa menikmati senja dan ngobrol dengan teman sambil lesehan di rumput pinggir pantai pulau para dewa?


Alunan musik chill-out dan suara debur ombak membuat senja sore itu sempurna. Setiap hari, selalu ada live performance dari disc jockey internasional. Tidak jarang, para musikus dunia juga diundang tampil di sini. Pernah ada DJ terkenal, Fatboy Slim, mengentakkan musiknya di Pulau Bali, atau suatu kali musikus John Legend tampil di sana.

Matahari sudah memburaikan jingga. Cahaya lampu mulai mengisi ruangan. Tempo musik pun berubah menjadi cepat untuk menghangatkan suasana. Selain buat nongkrong sembari menikmati senja, beach club ini asyik disinggahi ketika malam. Apalagi saat bulan purnama. Jika Anda betah, saat sebelum pandemi, tempat ini buka sampai pukul 2 dinihari. Namun seberapa pun Anda merasa kerasan, jangan nekat berkemah di sini…. Ha ha ha …

Arcaya M./TL/agendaIndonesia

*****

3 Jam Mengarungi Sungai Cijulang

3 jam mengarungi sungai cijulang dengan Tubing Sungai

3 Jam mengarungi Sungai Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, sungguh sebuah kegiatan yang penuh kegembiraan. Relief dinding sungai alami dan lingkungan asri meredakan adrenalin yang bergejolak.

3 Jam Mengarungi Sungai Cijulang

Matahari pas bertengger di atas kepala. Berteduh di saung bambu memang pilihan yang sangat tepat. Apalagi nasi liwet khas Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, yang dinamakan “Jolem” (kejo pelem) sudah terhidang di depan mata. Ehm… benar-benar menggoda. Dalam bahasa Sunda, kejo pelem berarti nasi pulen. Saat disantap, “Jolem” ini memang pulen dan nikmat.

Belum lagi minuman penutup tambahan berupa kelapa muda yang langsung dipetik langsung dari pohonnya, semakin menyempurnakan makan siang saya di hari itu. Setelah istirahat sejenak, kantuk langsung menyergap. Rasanya semakin berat saja mata ini untuk tetap terjaga.

Namun kantuk harus segera lenyap. Saya masih harus mengarungi Sungai Cijulang. Aliran Sungai Cijulang yang melintasi Dusun Pangancraan di Desa Margacinta itu merupakan aliran terusan dari Ciwayang menuju Green Canyon. Belum lama ini dimanfaatkan menjadi obyek wisata arung jeram terbaru, Cijoelang Rafting. “Sungai Cijulang sangat potensial dijadikan obyek wisata,” ujar Kepala Desa Margacinta H. Edi Supriadi.

Mobil berpenggerak empat roda yang saya tumpangi, perlahan tapi pasti, mulai menyusuri jalan desa yang bergelombang. Tubuh saya sempat terguncang. Seakan memulai sebuah petualangan.

Hanya sekitar 15 menit, tibalah saya di posko Cijoelang Rafting. Teman-teman dari Cijoelang Rafting, yang sudah dikabari sebelumnya, menyambut kedatangan kami. Tidak ada pengunjung lain hari itu. Setelah cukup bertegur sapa, saya segera berganti pakaian. Di saat yang sama, mereka menyiapkan life jacket (jaket pelampung), helm, dan ban dalam. Hah, ban dalam? Seingat saya, dulu ketika berarung jeramdi daerah Sukabumi, Jawa Barat, menggunakan perahu karet. Tidak menggunakan ban dalam.

Rupanya tren terus berkembang. Arung jeram kini bisa menggunakan ban dalam untuk arus yang tidak terlalu deras dan jeram yang tidak terlalu ekstrem. “Aktivitas seperti ini dinamakan river tubing. Ada juga yang disebut body rafting. Bedanya, body rafting tidak menggunakan ban,” ujar Ucup Yusup, Koordinator Cijoelang Rafting.

Setelah selesai menggunakan segala perlengkapan, saya bersama teman-teman Cijoelang Rafting mulai menyusuri jalan setapak. Jalan setapak bersemak dan lingkungan yang benar-benar sunyi. Bagaikan sebuah perjalanan memulai sebuah ekspedisi pengarungan sungai sesungguhnya.

Tak berapa lama, kami sudah sampai di bibir sungai. Arus sungai terlihat deras menantang. Satu per satu kami turun ke pinggir sungai dengan berpijak pada batu besar. Air sungai yang sejuk cenderung dingin mulai menyapa. Agak sulit juga rupanya untuk bisa duduk di atas ban dalam yang terapung karena belum terbiasa. Untungnya, teman-teman Cijoelang Rafting sigap membantu.

Wuss… petualangan river tubing pun dimulai. Mengapung dan mengarungi Sungai Cijulang. Pemandangan di sekitarnya sungguh menakjubkan. Serasa mengarungi sungai perawan. Saat menengok ke atas, pohon tropis membentuk kanopi alami. Sedangkan relief dinding sungai begitu eksotik. Pahatan alam nan indah yang terbentuk selama ratusan tahun.

Ketenangan dan kekaguman itu tidak berlangsung lama. Jeram pertama yang dinamai Jog-Jogan sudah menghadang di depan mata. Pemandu langsung mengarahkan saya dan yang lainnya agar tetap berada di jalur dan tidak menghantam batu besar. Byurrr…Jeram pertama terlewati. Adrenalin mulai bergejolak, tapi aneh, malah menimbulkan sensasi riang.

Arus sungai kembali tenang. Pemandu mengajak kami membentuk barisan dengan cara saling mengaitkan kaki satu sama lainnya. Terkadang, kami membentuk lingkaran dengan saling berpegangan tangan. Berputar sembari terapung-apung dan melupakan kepenatan sejenak.

Barisan mulai dipisahkan saat kami akan melewati jeram Kedung Kerti, Leuwi Bunder, dan Kedung Badak. Masing-masing jeram memberi sensasi berbeda. Rombongan berhenti saat tiba di Curug Parung Sombeng. Peserta yang ingin menguji adrenalin lebih diperkenankan lompat dari batu besar di sisi air terjun. Sedangkan yang ingin sekadar menyaksikan dapat bersandar pada dinding sungai. Lokasi ini biasanya dijadikan spot foto menarik.

Sekadar mengingatkan, saat hendak melompat dari ketinggian ini, tali pengaman life jacket yang melewati selangkangan sebaiknya dilepaskan saja. Sebab, jika tidak, tali akan tertarik saat tubuh menyentuh air. Tak terasa, sudah hampir 3 jam kami mengarungi Sungai Cijulang. Sungai perawan yang telah memamerkan pesona keindahannya, sekaligus memicu adrenalin. l

Andry T./P. Mulia/Dok. TL

Kopi Klotok Yogya, Kopi di Kilometer 16

Kopi Klotok 01

Kopi Klotok Yogya adalah ikon baru kuliner kota pelajar ini sepanjang empat-lima tahun terakhir. Sesungguhnya, suguhan kopinya bukan sejenis kopi dari kafe-kafe yang menjual kopi single origin perkebunan tertentu. Namun warung kopi ini menjual “paket lengkap” menikmati kopi.

Kopi Klotok Yogya

Warung Kopi Klotok sendiri lokasinya ada di Jalan Kaliurang di kilometer 16, Pakem, Yogyakarta. Warung jadul bergaya Jawa tersebut jadi hip foto-fotonya ramai diunggah para penikmat kuliner di media sosial berbagi gambar Instagram.

Bangunan joglo khas rumah tradisional Jawa Tengah menjadi daya tarik bagi warung itu. Apalagi, letaknya tepat berada di tepi sawah. Suasana ndeso pun langsung terasa ketika pengunjung datang.

AgendaIndonesia sempat menyambangi Kopi Klotok sebelum masa pancemi tahun lalu. Sesuai tips sejumlah teman, jika datang di akhir pekan atau masa liburan sekolah, kita harus pagi-pagi benar sampai di tempat ini. Dan benar, pukul 07.00, warung tepi sawah itu sudah buka. Puluhan kendaraan pun sudah terparkir di halaman. Bahkan, bus-bus rombongan juga sudah mulai memenuhi jalan masuk warung.

“Ini masih terhitung sepi. Kalau akhir pekan atau libur panjang, jangan harap langsung dapat tempat duduk,” kata Ruli, seorang teman yang sudah jadi pelanggan Kopi Klotok, saat menemani menyambangi warung tersebut.

Waktu terbaik mengunjungi Kopi Klotok memang pagi hari. Menjelang siang, apalagi saat hari libur, pengunjung akan sulit mencari tempat duduk lantaran penuh wisatawan.

Ruli memilih duduk bersila di atas amben kayu di teras belakang, dan langsung  asyik menyeruput kopinya. Tangan kirinya memegang lepek, atau tatakan gelas kopi,  sementara tangan kanannya mendekatkan gelas ke mulutnya. “Aahhh..,” katanya seakan melepas kenikmatan. Hawa sekitar lokasi lumayan sejuk, meski konon tak sedingin 10-12 tahun lalu.

Sesungguhnya datang dan langsung ngopi di warung ini jarang dilakukan pengunjung. Sebab, meskipun nama warungnya Kopi Klotok, kebanyakan pengunjung datang ke sini justru untuk menikmati makan besar yang menjadi signature mereka: nasi putih, sayur lodeh, telur dadar, dan tempe garit. Yang terakhir ini tempe yang proses pembuatannya menggunakan daun jati dan ketika akan digoreng dua sisinya digaris-garis dengan pisau sebelum dicelupkan ke bumbu garam-bawang lalu digoreng kering.

Di warung ini, pengunjung biasanya langsung masuk ke warung melalui pintu kayu yang rendah. Beberapa pengunjung yang cukup jangkung mesti sedikit menunduk jika melewatinya. Dalam filosofi Jawa, hal ini memiliki makna bentuk penghormatan dan sopan-santun tamu terhadap pemilik rumah.

Tiba di ruangan pertama, pengunjung akan langsung menemui sebuah ruangan yang lapang. Di sisi kanan terdapat meja panjang dengan beragam lauk. Ada sayur lodeh, sayur lombok ijo, telur, tempe, tahu, dan masakan rumahan khas Jawa lainnya. Pengunjung bisa langsung memilih.

Menurut Ruli, sayur lodeh adalah favorit pelanggan. Kabarnya, sayur ini sudah habis menjelang sore. Padahal Kopi Klotok sendiri masih buka sampai malam. “Jadi kalau datang malam, hanya kebagian lauk telur tanpa sayur,” tuturnya.

Setelah mengambil makan ala prasmanan, pengunjung akan memilih tempat duduk. Bisa di dalam rumah joglo, di serambi belakang, atau di luar, yakni lesehan di tepi sawah. Orang-orang biasanya berebut tempat di serambi belakang. Sebab, tempat tersebut paling strategis. Sambil makan, pengunjung bisa menikmati hamparan sawah dan pohon-pohon kelapa.

Di dalam rumah joglo itu dipajang ornamen pernak-pernik tempo dulu yang unik. Ada radio lawas, sepeda onthel, dan lampu teplok. Sedangkan bangku dan meja yang digunakan ialah yang tergolong perabot lawasan. Model kursi set babon angrem dengan anyaman rotan ialah salah satu contohnya.

Setelah kelar makan, umumnya pengunjung tak langsung pulang. Mereka akan memesan kopi dan pisang goreng. Dua menu ini adalah andalannya. Kopi yang disajikan ialah kopi hitam. Boleh memilih yang pahit tanpa gula atau manis. Sedangkan pisang goreng akan dihidangkan hangat-hangat.

Suasana pedesaan yang sejuk, kopi hangat ditambah pisang goreng dan jadah, membuat penikmatan kopi semakin sempurna. Kopi Klotok seolah menjawab kerinduan para tamu akan kampung halaman.

Kesederhanaan hingga kejujuran, menjadi suasana yang khas sekaligus ingin diciptakan di Kopi Klotok. Dapur yang perapiannya masih konsisten memakai kayu bakar, penataan pisang-pisang yang digantung memenuhi sekitar para-para, agar pisang lebih cepat matang. Dinding-dinding dapur kehitaman dan berjelaga. “Namun, justru nuansa seperti ini yang sudah tidak bisa ditemukan lagi di kota,” kata Ruli.

Dan di bilik seberang, dua orang barista lincah dan tekun melayani permintaan kopi. Nugraha, salah seorang pengurus Kopi Klotok, menjelaskan bahwa kopi di warungnya adalah kopi dengan penyajian sederhana. Kopi bubuk dimasak dalam panci panas tanpa air. Setelah beraroma sedikit gosong barulah disiram air hingga mendidih. Dari proses tersebut munculah nama klotok yang berasal dari Bahasa Jawa “nglotok” atau mengelupas. Proses mengelupasnya kopi adalah saat air disiramkan ke panci yang lengket dengan kopi yang dimasak tanpa air tadi.

Menu-menu di Kopi Klotok tergolong murah. Satu paket nasi sayur plus lauk dibanderol Rp 12.500. Sedangkan kopi klotok Rp 5.000 per gelas dan pisang goreng Rp 2.500 per porsi. Warung ini buka mulai pukul 07.00 hingga 22.00.

Faktor lain yang menurut Ruli mengatakan menjadi kekhasan Kopi Klotok, di sini ada upaya menciptakan edukasi tentang sebuah kejujuran. Setiap tamu yang datang boleh hilir-mudik di dalam rumah, pergi ke dapur mengambil sendiri makan dan menu lainnya. “Jadi, kita seperti lagi di rumah sendiri. Penyaji dan pengurus Kopi Klotok juga tidak pasang muka curiga, sehingga kami kayak diberi kepercayaan. Kami harus jujur,” jelasnya sambil menyeruput lagi kopi hitamnya.

F. Rosana

*****

Uluwatu Bali, Debur Ombak Di Antara 70 Penari Kecak

Uluwatu Bali, dikenal wisatawan sebagai salah satu magnet dari Kabupaten Badung pulau Dewata ini. Selain tepi lautnya yang memang eksotis, juga ada atraksi tarian rakyat Bali yang berbasis dari cerita pewayangan dengan puluhan orang yang memainkan. Cak, atau kecak, yang dinamis dan atraktif.

Uluwatu Bali

Sekitar 70 pria telanjang dada itu memasuki arena tengah yang dikelilingi tempat dudu para penonton.  Tubuh bagian bawahnya ditutupi kain kotak-kotak hitam dan putih. Ada seutas tali merah di pinggangnya. Para penonton terkesima, semua mata memandan  kumpulan lelaki itu. Tebing yang mengelilingi arena serta debur ombak di bawahnya untuk sementara tidak menjadi pusat perhatian.

Langit masih terang, sekitar pukul 18.00, pertunjukan tari kecak di Uluwatu itu dimulai. Dibuka dengan doa oleh pandita — pemuka agama dalam agama Hindu Bali — yang memercikkan air suci kepada para penari. Setelah itu, baru kelompok pria yang membuat lingkaran dengan bagiannya tengahnya api itu beraksi.Badan setengah tiduran, kemudian duduk kembali tapi kedua lengan dinaikkan ke atas. Sambil bergerak terus, dari bibir mereka terucap satu kata yang terus diulang-ulang dengan cepat dan keras. Cak .. cak … cak … cak…

Langit yang semula terang pun perlahan menggelap. Warna keemasan dan kemerahan pun muncul, memberi efek dramatis pada pertunjukan yang tengah digelar. Para penonton pun semakin larut. Tidak hanya penari kecak yang beraksi. Karena tarian ini dipadu dengan kisah Ramayana, muncul juga Rama dan Shinta, dan tentu juga Hanoman—monyet putih – yang juga menarik perhatian ketika menari di tengah lingkaran api.

Tontonan yang berlangsung selama sejam pun tidak terasa usai, ketika langit sudah gelap. Kebanyakan penonton melemparkan senyum, menandakan mereka puas dan terkesan dengan pertunjukan yang bisa dinikmati dengan tarif sekitar Rp 100 ribu bagi turis lokal dan lebih mahal sedikit untuk turis asing. Karena memadukan pertunjukan dengan latar belakang alami, sebaiknya datang 30 menit sebelum acara dimulai agar mendapatkan posisi tempat duduk yang paling prima. Sebenarnya, menyaksikan tarian ini bisa menjadi akhir dari perjalanan wisata dari Kuta hingga Uluwatu. Biasanya untuk mencapai Uluwatu dari Kuta diperlukan waktu sekitar satu jam. Namun dengan persinggahan ke sejumlah obyek wisata, setidaknya diperlukan setengah hingga satu hari.

Uluwatu Bali di selatan pulau Dewata ini memiliki pantai-pantai yang menarik.
Salah satu pantai di Uluwatu, Kabupaten Badung, dengan hamparan pasir putih yang eksotik. Foto: Dok. unsplash

Berada di paling selatan di Pulau Bali, sebelum mencapai Uluwatu, bisa ditemukan beberapa pantai yang asik disinggahi. Kebanyakan turis mampir ke Pantai Dreamland yang berada di Pecatu, sebelum mengakhiri perjalanannya di Uluwatu. Sebenarnya sejajaran dengan Dreamland, ada beberapa pantai lain. Sebelum Dreamland, bisa temukan Pantai Balangan. Pantai ini merupakan lokasi yang banyak diburu oleh para peselancar. Pantai bisa dicapai dari jalan utama di Ungasan, berada di posisi kanan, bila melangkah dari arah Jimbaran. Dreamland sudah lebih banyak dikenal, dicapai setelah melalui areal Pecatu Graha Indah

Setelah Dreamland, lebih banyak lagi pilihan. Seperti Pantai Bingin – pantai berpasir putih yang berada di selatan Dreamland, sedikit repot menemukannya karena tidak ada tanda berukuran besar. Jalannya tidak terlalu lebar, namun menawarkan panorama pantai yang memukau. Berada satu arah ketika menuju Pantai Padang-padang. Pantai yang juga disukai para peselancar. Pantainya berpasir putih, tapi tidak terlalu landai.

Dari Pantai Padang-padang ini, Pura Uluwatu sudah dekat. Di Uluwatu, sebelum menyaksikan pertunjukan bisa mampir ke pura. Untuk memasukinya wisatawan harus membayar tiket masuk. Tidak hanya mengenal salah satu pura dari enam pura yang paling penting di Bali, tapi juga menikmati alam sekitarnya. Debur ombak yang cukup keras menghantam tebing, dan keindahan tebing-tebing yang sebagian ditutupi tumbuhan hijau.

Uluwatu Bali di Kabupaten Badung memiliki pesona alam yang indah dan atraksi kesenian yang menarik.
Garuda Wisnu Kencana yang berada di kawasan Uluwatu Bali. Foto: Dok. Unsplash

Pura Uluwatu berada di atas tebing curam setinggi 70 meter. Di salah satu sisinya, terlihat juga di bagian bawah pantai dan para pesalancar beraksi. Di sekitar pura ada penghuni khas yakni monyet. Hati-hati, jangan mengundang perhatiannya hingga terkena ulah jailnya.  Obyek wisata lain di Bali Selatan adalah Garuda Wisnu Kencana yang sering disingkat GWK. Taman budaya seluas 240 hektar memiliki sejumlah sarana, terutama untuk panggung teater. Terbuka untuk umum antara pukul 08.00-20.00 dengan tiket masuk yang bervariasi untuk wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara.

Lokasinya di bukit Ungasan, sehingga sebaiknya di awal perjalanan menuju Uluwatu. Selain menikmati alam, dan keindahan mentari terbit dan terbenam, taman budaya ini juga memiliki sederet program. Di antaranya berupa pertunjukan tari,seperti tari kecak, barong, palegongan, dan pertunjukan musik.

Rita N./TL/agendaIndonesia

*****

Air Terjun Madakaripura, Tebing 200 Meter

Air Terjun Madakaripura di Probolinggo merupakan air terjun tertinggi ke dua di Indonesia.

Air terjun Madakaripura dua-tiga tahun terakhir semakin dikenal para petualang juga wisatawan. Terletak di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, air terjun Madakaripura memiliki pesona alam yang tak luar biasa. Tidak hanya menawarkan keindahan alam saja, air terjun ini juga punya potensi storynomic tourism, spot wisata dengan latar belakang cerita, yang layak untuk dikembangkan.

Air Terjun Madakaripura

Konon, Air Terjun Madakaripura menjadi tempat pertapaan terakhir Maha Patih Majapahit Gadjah Mada. Itu dilakukannya hingga akhir masa hidupnya. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, Gadjah Mada moksa atau menghilang. Mitos ini merujuk pada pemilihan nama Madakaripura yang diambil dari tiga kata yang saling berhubungan.

air terjun Madakaripura memiliki sejumlah mitos, di antaranya ini merupakan tempat pertapaan terakhir Gadjah Mada.
Air terjun Madakaripura di Probolinggo, Jawa Timur. Foto: dok. shuterstock

Mada merupakan penggalan dari Gadjah Mada,  Kari yang berarti peninggalan, dan Pura bermakna sembahyang atau semedi. Berdasarkan cerita tersebut, masyarakat setempat percaya bahwa air terjun Madakaripura tersebut adalah air terjun abadi. Pasalnya, selama ini debit air terjun tersebut tidak pernah mengalami kekeringan.

Cerita mengenai Mahapatih Gadjah Mada ini diperkuat dengan hadirnya arca atau patung Gadjah Mada yang berada di kawasan ini. Tepatnya berada di area parkir kawasan ini. Jadi, saat wisatawan memakirkan kendaraan di sini.

Meskipun untuk menuju ke Air Terjun Madakaripura wisatawan harus trekking terlebih dahulu, namun pesona yang ditawarkan sangat sepadan dengan perjuangan tersebut. Rasa lelah akan terbayar lunas saat sesampainya pengunjung di lokasi air terjun ini.

Pemandangan hijau yang ada di sekitar air terjun di Probolinggo ini juga menjadi daya tarik sendiri. Banyak pepohonan rindang membuat susananya segar dan pemandangannya semakin asri. Tempat ini juga sangat cocok untuk mereka yang menikmati alam.


Terlepas dari mitos-mitos yang menyelimutinya, salah satu daya tarik dari air terjun ini adalah tinggi tebing yang menjadi turunnya air sangat tinggi dan diperkirakan sekitar 200 meter. Ketinggian ini sekaligus menobatkan Madakaripura sebagai air terjun tertinggi di Pulau Jawa dan salah satu air terjun tertinggi di Indonesia.

Saat ini Madakaripura tercatat sebagai air terjun tertinggi kedua di Indonesia. Adapun air terjun tertinggi di Indonesia yang diketahui hingga saat ini adalah air terjun Ponot di Sumatera Utara dengan ketinggian sekitar 250 meter.


Selain karena ketinggiannya, pesona Air Terjun Madakaripura juga tampak dari bentuk tebing di sekelilingnya. Tebingnya memiliki bentuk melingkar, sekilas seperti gelas raksasa yang tinggi menjulang.

Uniknya lagi, air terjun ini berbentuk gua dengan ketinggian kurang lebih 200 meter. Dan memiliki luas kurang lebih 25 meter. Air terjunnya pun melingkar. Nah, sebelum menuju air terjun utama, wisatawan akan disambut dengan empat air terjun. Dimana, salah satunya berbentuk seperti sebuah rongga.

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, rongga tersebut adalah tempat moksa Patih Gadjah Mada. Bila dilihat secara geografis, letak dari air terjun ini berada di ujung lembah yang cukup dalam. Terletak di kaki bukit pegunungan Tengger.

Keunikan lainnya, air tidak hanya mengalir dari tengah air terjun saja, namun juga melalui celah-celah tebing yang menyempit. Hal ini membuat suasana di bawah air terjun seolah sedang turun hujan. Ini karena air yang menetes dari segala arah membuat area sekitar air terjun tampak seperti sedang gerimis.

Karena itu, jika pengunjung atau wisatawan berkunjung ke Air Terjun Madakaripura disarankan untuk menggunakan jas hujan agar tidak basah. Jatuhnya air juga menghadirkan gelombang air yang sangat dramatis serta membentuk kolam alami di bawah air terjun. Air di kolam alami tersebut memiliki warna biru yang transparan dan menyegarkan mata.

Untuk menuju lokasi Air Terjun Madakaripura, para pengunjung bisa mengandalkan transportasi umum maupun kendaraan pribadi. Dari Kota Probolinggo, wisatawan harus berkendara ke arah Dusun Branggah, Desa Negororejo, Kecamatan Lumbang. Lokasi ini berjarak kurang lebih 37 km dari pusat Kota Probolinggo.

Air terjun Madakaripura bisa dicapai dari kota Probolinggo di Jawa Timur.
Patung Kuda Cipta Wilaha salah satu ikon Probolinggo. Foto: Dok shuterstock

Sesampainya di pintu masuk Air Terjun Madakaripura, baik menggunakan kendaraan pribadi maupun transportasi umum, wisatawan tetap harus melakukan trekking untuk sampai ke titik lokasi air terjun. Perjalanan ini membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit dari pintu masuk.

Waktu terbaik untuk mengunjungi Air Terjun Madakaripura adalah akhir musim penghujan,yaitu antara Mei hingga Juni. Kunjungan juga lebih baik dilakukan di pagi hari, karena kemungkinan besar cuaca sedang cerah.

agendaIndonesia

*****

Kampung Bena Flores, 9 Suku dan 45 Rumah

Kampung Bena Rosana

Kampung Bena Flores, Nusa Tenggara Timur, kampung adat yang lekat mengesankan kehidupan zaman batu atau megalitikum. Kampung ini berada di Ngada, sebuah kabupaten di tengah Pulau Flores, yang pada 1995 diakui UNESCO masuk daftar World Heritage Tentative List sebagai daerah dengan kategori kebudayaan.

Kampung Bena Flores

Di kabupaten Ngada, tradisi dan adat kental dijunjung. Masyarakat dari beragam kelompok masih eksis. Mereka terbagi atas beberapa suku. Anggota-anggota suku hidup di perkampungan adat. Salah satu yang terbesar adalah Kampung Adat Bena.

Pemgunjung jika baru pertama kali menginjakkan kaki di kampung ini, akan merasa memasuki lorong waktu dan menatap kehidupan masa lalu. Sebab, modernisasi minim sekali dirasakan. Orang-orangnya masih mempertahankan budaya lampau, penduduk yang menganut paham matrilineal itu umumnya masih mengunyah sirih pinang, melakoni aktivitas berladang, dan menenun kain tradisional.

AgendaIndonesia pernah menyusuri perkampungan adat tersebut. Inilah catatan perjalanan selama mengunjungi Kampung Bena. Perjalanan dimulai dari Kota Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.

Perlu perjalanan darat kurang lebih 9 jam dari Labuan Bajo untuk menjangkau lokasi ini. Atau, bisa juga menggunakan jalur udara menuju Bandar Udara Soadi, dilanjutkan perjalanan darat kurang lebih satu jam.

Sepanjang 19 kilometer, hampir tak terlihat kehidupan di jalan yang menghubungkan Kota Bajawa dan Kampung Bena. Selepas perkotaan kecil, hanya hutan dan pegunungan yang tampil di kanan-kiri jalanan.

Medannya pun tak main-main. Tanjakan, turunan, dan kelokan esktrem serta-merta bisa dijumpai. Laurent (37 tahun), warga asli Bajawa, yang memberi tumpangan menuju Kampung Bena, hati-hati betul mengatur gas motornya. “Jalanan licin. Lumpur turun kalau habis hujan,” kata Laurent. Meski sedang kemarau, misalnya, cuaca Bajawa tak bisa ditebak. Wilayahnya yang terletak di dataran tinggi membuat hujan sekonyong-konyong bisa turun.

Kampung Bena Flores dengan gunung Inerie-nya

Kira-kira 30 menit setelah berjibaku dengan medan yang berliku-liku, pemandangan berubah. Kini, yang tampak adalah kantong-kantong perkampungan di lereng gunung. “Itu Gunung Inerie,” kata Laurent. Gunung Inerie tampil menjulang. Ini merupakan gunung api dengan puncak tertinggi di pulau Flores. Ketinggiannya 2.245 meter di atas permukaan laut.

Adapun perkampungan di kaki Gunung Inerie yang tampak dari sisi jalan raya adalah kampung-kampung adat. Salah satunya Kampung Bena, yang terhitung paling besar.

Laurent menghentikan laju motornya di bawah tanah lapang luas dengan pepohonan bambu di sekelilingnya. Di depan tanah lapang itu tampak sebuah permukiman dengan rumah-rumah tradisional berjajar serta berhadapan.

Inilah Kampung Adat Bena. Sebelum masuk ke kampung adat, wisatawan harus membayar tiket masuk. Biayanya Rp 25 ribu untuk turis lokal. Setelah mendapatkan tiket, wisatawan akan dipinjami ikat kepala. Ikat kepala ini wajib dipakai sebagai salah satu syarat masuk perkampungan.

Menyusuri kampung Bena, pengunjung akan merasa diapit rumah-rumah kuno nan unik. Bentuk perkampungan itu berundak-undak, seperti desa di perbukitan. Bangunan rumah penduduknya masih terbuat dari kayu beratap rumbai-rumbai.

Di sana berdiri kira-kira 45 rumah. Uniknya, keluarga yang tinggal di rumah-rumah tersebut berasal dari sembilan suku, yakni suku Bena, Ago, Dizi, Dizi Azi, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Khopa, Wahto, dan Ngada.

Pembedanya, rumah mereka dipisahkan oleh tingkatan-tingkatan. Masing-masing suku menempati satu tingkat. Tingkat paling tengah dihuni oleh suku Bena. Sebab, suku itu dianggap paling tua dan menjadi pionir pendiri kampung. Komunikasi antarsuku tersebut berlangsung menggunakan bahasa setempat, yakni Nga’dha.

Rumah-rumah di perkampungan adat dibangun dengan mempertahankan kontur asli tanah. Itulah sebabnya, bentuk kampung tersebut berundak-undak. Di ujung kampung, ada sebuah bukit kecil. Bukit itu menjadi titik kumpul masyarakat untuk berdoa dan beribadah. Di sana bersemayam patung Bunda Maria.

Patung Bunda Maria berdiri di tengah bebatuan yang ditata seperti gua. Di sekeliling gua juga terdapat batu-batu besar.

Bebatuan tak cuma bisa dijumpai di bukit. Di muka tiap rumah pun terdapat bebatuan besar dengan ujung runcing. Laurent menyebut, keberadaannya merupakan simbol pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.

Masyarakat Kampung Adat Bena hidup mempertahankan tradisi leluhur mereka sejak zaman batu. Karena itulah kampung ini disebut kampung megalitikum.

Di beranda rumah-rumah, perempuan menggelar alat tenun bukan mesin. Setiap hari para mama—sebutan untuk perempuan sudah beristri—memintal benang dan menenunnya menjadi kain tradisional yang dipasarkan kepada wisatawan.

Tenunan itu alami. Pewarnanya berasal dari akar tumbuh-tumbuhan.

Ritus hidup masyarakat adat Kampung Bena menarik perhatian wisatawan asing. Suzanne van den Beek, warga asli Belanda, yang ditemui di Kampung Bena, mengaku tak menyangka bisa menjumpai perkampungan zaman batu di masa modern. “Ini luar biasa mengagumkan dan saya belum pernah menjumpainya sebelumnya,” tuturnya.

Kampung Bena menjadi salah satu bukti sejarah bahwa peradaban masyarakat adat yang banyak bermukim di Flores masih terus hidup.

F. Rosana

Keindahan Ungaran Dari Ketinggian 1.200 Meter

Candi gedong Songo moto moto sc unsplash

Keindahan Ungaran lebih terasa dinikmati dari ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Menikmati gumpalan awan dan mengejar matahari di dua tempat berbeda.

Keindahan Ungaran

Angin pegunungan bersilir-silir menerpa tubuh. Embusan dinginnya perlahan  mulai menusuki tulang. Namun gumpalan awan kental bak lautan di kaki Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah, berhasil mengalihkan perhatian. Bentangannya yang bergumpal-gumpal terhampar alami dan memancarkan pesona keindahan. Apalagi saat mentari pagi sudah hadir menyapa, cahayanya menerobos gumpalan awan dan menyembulkan bias jingga. Wow!

Momen seperti itu memang hanya dapat dinikmati menjelang matahari terbit, tepatnya sebelum matahari memecahkan gumpalan-gumpalan awan yang melayang. Terbayar sudah upaya saya dinihari tadi agar dapat berada di negeri di atas awan ini. Meski saya harus bergegas meninggalkan Kota Semarang jauh sebelum matahari menampakkan batang hidungnya dan ayam jago berkokok.

Mungkin akan makin lengkap rasanya jika secangkir minuman dan penganan hangat turut menemani. Namun sayang warung-warung di area parkir Wisata Alam Sidomukti belum ada yang buka. Dapat dimaklumi karena hari masih terbilang pagi buta. Sepi dan sunyi. Hanya kicau burung dan tonggeret yang terdengar.

Keindahan Ungaran dari ketinggian 1200 meter

Decak kagum tiada berkesudahan. Saya makin memahami betapa kecilnya anak manusia dibanding kemegahan alam ciptaan Sang Khalik. Tak terasa, momen indah itu begitu cepat berlalu. Matahari mulai meninggi. Gumpalan awan pun perlahan melayang dan terpisah satu sama lain. Kini, pemandangan telah berganti, tak kalah indah. Tampak rindangnya pepohonan, lembah yang curam, dan jurang yang memisahkan punggung gunung.

Menurut Fauzy, sopir yang mengantar saya, kawasan Umbul Sidomukti memang telah menjadi wisata alternatif di Bandungan, di samping wisata Candi Gedong Songo dan Bandungan. Salah satu objek yang menarik adalah kolam renang dengan dinding bebatuan alami berbentuk terasering.

Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, ketiga kolam renang itu diapit jurang di kedua sisinya. Kolam renang terletak menonjol di tepi lereng sehingga siapapun yang sedang berendam dapat menyaksikan pemandangan luas dari kejauhan, awan berarak serta hamparan lembah dataran rendah Kota Ambarawa, Rawapening, dan sekitarnya.

Uniknya lagi, sumber utama air kolam berasal dari mata air di tengah kolam renang paling atas. Airnya jernih, sejuk, dan terasa menyegarkan saat saya menyentuhnya. Jika kolam bagian atas sudah penuh, air akan jatuh ke kolam di bawahnya. Begitu seterusnya hingga mencapai kolam ketiga yang berada paling bawah. Sementara, jika air kolam ketiga sudah penuh, air akan dibiarkan jatuh, mengalir ke kali.

Selain kolam renang, Umbul Sidomukti sebenarnya juga dijadikan sarana outbound. Permainannya terkesan menantang karena terdapat dua pilihan trek, yakni marine bridge di lembah dan rappelling menuruni lembah di sisi kolam. Sementara permainan flying fox memiliki lintasan sekitar110 meter dan menyeberangi lembah di antara dua lereng bukit.

Jalan mencapai lokasi kawasan ini memang berliku dan naik-turun. Jalan pun tidak terlalu lebar. Saat berpapasan, mobil harus saling mengalah, bergantian. Syukur, waktu dan jarak tempuh tidak terlalu lama untuk tiba di Umbul Sidomukti, Desa Sidomukti, Bandungan, Semarang. Hanya sekitar 36 kilometer dari Kota Semarang.

Matahari makin meninggi. Sebenarnya saya masih ingin berlama-lama di tempat ini. Namun keindahan Brown Canyon, yang belakangan populer di Semarang, terus membayangi. Ya, saya harus bergegas. Kini, giliran mengejar matahari tenggelam di Brown Canyon.

Ada banyak rute untuk bisa sampai ke Brown Canyon, seperti lewat Pasar Meteseh via Tembalang dan Kedungmundu atau Rumah Sakit Umum Daerah Klipang. Namun yang perlu diperhatikan adalah kendaraan yang ditumpangi. Sebaiknya, gunakan kendaraan roda empat yang memiliki ground clearance yang lumayan tinggi. Sebab, kontur jalan menuju lokasi ini merupakan jalan pedesaan yang jauh dari kata mulus dan cenderung bergelombang.

Setelah melewati jalan bergelombang yang sempat membuat badan terguncang, akhirnya saya tiba di lokasi. Namun sebelumnya, beberapa warga setempat memungut karcis masuk. Maklum saja, tempat ini memang bukanlah obyek wisata yang dikelola resmi oleh pemerintah daerah atau dinas pariwisata setempat.

Lokasi ini awalnya hanya berupa bukit dan dijadikan proyek galian C untuk ditambang pasir, tanah urug, dan batu padas. Lambat laun, akibat penggalian tersebut, terbentuklah tebing-tebing karena tidak semua bukit menjadi area proyek galian.

Karena bentuknya yang unik, Brown Canyon sering dijadikan latar belakang pemotretan. Tekstur tebingnya unik dan lubang-lubang bekas galian yang telah menampung air hujan menambah kesan eksotis. Banyak pengunjung yang berfoto mengabadikan diri sore itu untuk diunggah ke media sosial atau sekadar menuntaskan rasa penasaran. Sumiyati, misalnya. Perempuan setengah baya asal Jakarta itu mengaku tertarik mengunjungi Brown Canyon setelah menyaksikan tayangan di salah satu televisi swasta.

Karena masih bersifat obyek wisata dadakan, jangan berharap pengunjung mendapati fasilitas seperti toilet, tempat istirahat, atau tempat ibadah di lokasi ini. Yang ada hanya warung kaget yang didirikan oleh warga setempat. Seorang pemilik warung mengungkapkan jika tambang itu sebetulnya sudah ditinggalkan. Tapi, tak semua lahan habis digali. Misalnya, ada dua lahan yang dibiarkan begitu saja sehingga terkesan membentuk bukit ukuran mini. Posisinya berdekatan. Menurutnya, para penggali tidak berani memapas bukit itu karena terdapat makam keramat di atasnya.

Terlepas benar atau tidak, setidaknya kisah itu menjadi mitos yang makin menambah daya tarik Brown Canyon. Kisah itu asyik didengarkan sembari menikmati kopi panas dan sepotong pisang goreng yang masih hangat. Dari kejauhan, mentari mulai jatuh. Bulat merah bagai kuning telur ayam terselip di antara dua bukit mungil. Awan kelabu sempat menutupinya, lalu pergi lagi hingga sang mentari benar-benar tenggelam di ufuk barat. l

Boks

Dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Pilih penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Semarang, Jawa Tengah. Waktu tempuh hanya 50 menit. Lanjutkan perjalanan lewat darat sekitar 36 kilometer atau sekitar 1,5 jam karena lalu lintas ramai. Tidak ada bus umum untuk mencapai Umbul Sidomukti atau Brown Canyon. Pastikan Anda menggunakan kendaraan sewa.

Andry T. /N. Dian/Dok. TL/unsplash